WE ARE SHARE WHO WE ARE KNOW

KAMP KEMATIAN EISHENHOWER (PART 2)

Share on :
Kamp Kematian Eisenhower (Part 2)

Pada 8 Mei 1945, hari kemenangan sekutu atas
Jerman, saya memutuskan merayakannya bersama beberapa tahanan yang biasa
memanggang roti untuk para tawanan. Pada hari itu mereka semua bisa menikmati roti sebanyak yang mereka bisa makan. Kami pun menyangka itu adalah hari terakhir penderitaan dalam kamp tawanan dan kami semua bisa segera pulang ke rumah, sebuah pangharapan
yang jauh dari kenyataan.
Saat itu kami berada di wilayah Perancis, dan
kami melihat kebrutalan tentara Perancis
terhadap para tawanan setelah penyerahan
tawanan kepada mereka untuk dijadikan sebagai
pekerja paksa. Namun, di hari itu, bagaimana pun kami semua bergembira karena berhentinya peperangan.
Sebagai bentuk persahabatan, saya mengosongkan senjata saya dan menyandarkannya di pojok ruangan, bahkan membiarkan para tahanan
bermain-main dengan senjata itu. Kami bernyanyi
bersama-sama, lagu-lagu yang mereka ajarkan
atau yang sudah saya kenal sajak sekolah di sekolah Jerman dahulu. “Du, du liegst mir im Herzen”.
Sebagai balasannya, para tawanan membuatkan
saya roti yang sangat spesial, satu-satunya bentuk
hadiah yang bisa mereka berikan. Saya membawanya dengan gembira ke dalam barak saya dan memakannya pada kesempatan pertama
saya mendapatkan privasi. Saya tidak pernah memakan makanan seenak roti itu. Saya percaya "keberkahan" Kristus telah merasuki saya pada saat itu, mempengaruhi saya untuk nantinya memilih kuliah di bidang filsafat dan agama. Tidak lama kemudian, sebagian dari tawanan dan sakit dan lemah dipindahkan dengan digiring oleh pasukan Perancis ke kamp kerja paksa. Kami
mengiringi di belakang rombongan dengan truk
pengangkut. Sesekali, sopir memelankan kendaraannya dan kemudian berhenti. Mungkin ia merasa shock seperti saya melihat apa yang terjadi terhadap para tawanan itu. Setiap kali ada tawanan yang tidak sanggup lagi berjalan, ia akan dipukul
kepalanya dengan pentungan hingga tewas dengan
berlumuran darah. Mayatnya disingkirkan ke tepi jalan untuk kemudian diangkut dengan truk. Bagi sebagian tawanan, mungkin "kematian cepat" itu adalah cara terbaik untuk menghindari penderitaan menjadi tawanan perang tentara sekutu pemenang perang.
Ketika akhirnya saya melihat para tawanan wanita
Jerman, saya bertanya pada komandan, mengapa
kami harus menjadikan mereka sebagai tawanan
pula. Ia menjawab, para wanita itu adalah para
"bibit terpilih" bagi para tawanan dari kesatuan SS
untuk menciptakan "ras super". Bagi saya, tidak
ada kelompok wanita yang semenarik mereka.
Tentu saya saya tidak berfikir mereka patut menjadi tawanan.

Saya tetap menjalankan fungsi sebagai
penerjemah, dan beberapa kali berhasil menghindarkan penangkapan yang tidak perlu. Salah satu kejadian yang cukup memalukan terjadi saat seorang petani tua diseret oleh beberapa
pengawal. Mereka mengatakan petani itu memiliki medali Nazi dan memperlihatkannya pada saya. Untungnya saya mempunyai daftar medali Jerman dan segera mengetahui bahwa orang tua itu mendapatkan penghargaan karena memiliki banyak anak. Bagi saya hal itu tidak membuatnya layak
mendapat hukuman menjadi tawanan pekerja paksa. Maka ia kemudian dilepas kembali.
Kelaparan juga mulai melanda rakyat Jerman.
Menjadi pemandangan biasa melihat para wanita
Jerman mengaduk-aduk tong sampah, mencari
sesuatu yang masih bisa dimakan. Namun itu jika
mereka tidak sedang dikejar-kejar.
Ketika saya mewawancarai beberapa walikota kecil
dan kepala dusun, mereka memberitahukan bahwa
persediaan makan mereka telah dirampas oleh
"orang-orang tersingkir", yaitu orang-orang asing
(yahudi) yang datang ke Jerman seusai perang.
Ketika saya melaporkan kejadian ini, saya justru
dibentak. Saya juga tidak pernah melihat petugas
palang merah berada di kamp tawanan, atau bekerja menolong penduduk, meski stand mereka yang menyediakan kopi dan donat selalu tersedia di manapun untuk kami. Sementara warga Jerman harus mempercayakan diri pada perbekalan yang
disembunyikan hingga musim panen berikutnya.
Kelaparan membuat para wanita Jerman lebih
mudah "didapatkan", namun demikian pemerkosaan lebih sering terjadi, seringkali diiringi dengan tindak kekerasan lain. Satu peristiwa yang paling tidak bisa saya lupakan adalah saat saya
melihat seorang gadis remaja belasan tahun yang
mukanya berdarah dipukul gagang senjata, kemudian diperkosa oleh dua tentara Amerika. Bahkan orang-orang Perancis memprotes
kegemaran pasukan Amerika memperkosa, perampasan serta melakukan tindakan kekerasan karena minuman keras. Di Le Havre kami
mendapat buklet berisi petunjuk yang menyebutkan bahwa para tentara Jerman telah memperlakukan tawanan Perancis dengan baik, dan karenanya tentara Amerika harus melakukan hal
yang sama. Dalam hal ini kita telah gagal total.
“So what?” beberapa tentara Amerika berkata.
“Kekejaman musuh lebih besar dari kita," tambahnya.
Memang benar pengalaman saya hanya mencakup
masa akhir perang di mana sekutu telah memenangkan peperangan. Kesempatan Jerman untuk berbuat kejam telah lenyap dan pindah ke
tangan kita. Namun dua kesalahan tidak akan
membuat satu kebaikan. Daripada meniru
kekeliruan musuh, kita harus menghentikan
lingkaran kekerasan dan dendam yang telah
menjangkiti dan menghancurkan nilai-nilai
kemanusiaan. Inilah sebabnya mengapa saya
berteriak keras sekarang, 45 tahun setelah kejahatan itu. Kita memang tidak mungkin bisa mencegah kejahatan perang yang dilakukan
individu per-individu. Namun kita bisa, jika kita
cukup keras berteriak, mempengaruhi kebijakan
pemerintah. Kita bisa menolak propaganda
pemerintah yang menggambarkan musuh kita
sebagai mahluk kotor. Kita bisa memprotes
pengeboman atas sasaran sipil yang masih saja
terjadi hingga kini. Dan kita pun bisa menolak
untuk membiarkan pembunuhan-pembunuhan
yang dilakukan pemerintah kita atas para tahanan
perang.
Saya memahami, sangatlah sulit bagi sebagian
besar warga negara untuk mengakui adanya
kejahatan perang yang begitu hebat seperti
kejahatan terhadap rakyat Jerman dalam Perang
Dunia 2, khususnya jika melibatkan mereka.
Bahkan tentara Amerika yang bersimpati kepada
para tawanan, takut untuk melakukan protes. Dan
bahaya tidak akan berhenti. Sejak saya berteriak
beberapa minggu lalu, saya telah menerima
beberapa kali ancaman telepon dan e-mail
sayapun telah "dihancurkan".
Namun ini memang setimpal. Menulis tentang
kekejaman perang telah menjadi pembebas atas
perasaan yang telah lama terpendam, sebuah
pembebasan, dan mungkin akan mengingatkan
para saksi lain bahwa "kebenaran akan
membebaskan kita, jangan takut." Kita bahkan
mungkin akan mendapat pelajaran luar biasa dari
hal ini: "hanya cinta yang bisa mengalahkan
segalanya."

SOURCE:
"Eisenhower’s Death Camps’: A U.S. Prison Guard’s Story"; Martin Brech; The Journal of
Historical Review , vol. 10, no. 2, pp. 161-166; dalam situs truthseeker.co.uk ; 16 Maret 2011

0 komentar on KAMP KEMATIAN EISHENHOWER (PART 2) :

About

mein_liebe.inc. Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Translate