WE ARE SHARE WHO WE ARE KNOW

KISAH HIDUP DAAN MOGOT





Daan Mogot

Daan Mogot lahir di Manado pada
tanggal 28 Desember 1928 dari
pasangan Nicolaas Mogot dan
Emilia Inkiriwang (Mien) dengan
nama Elias Daniel Mogot. Ia anak kelima dari tujuh
bersaudara. Saudara sepupunya
antara lain Kolonel Alex E.
Kawilarang (Panglima Siliwangi,
serta Panglima Besar Permesta)
dan Irjen. Pol. A. Gordon Mogot
(mantan Kapolda Sulut).
Pada tahun 1939, yaitu ketika ia
berumur 11 tahun, keluarganya
pindah dari Manado ke Batavia
(Jakarta sekarang) dan menempati
rumah di jalan yang sekarang
bernama Jalan Cut Meutiah –
Jakarta Pusat. Di Batavia, ayahnya
diangkat menjadi anggota
VOLKSRAAD (Dewan Rakyat masa
Hindia-Belanda). Kemudian
ayahnya diangkat sebagai Kepala
Penjara Cipinang.
Pada masa Pendudukan Jepang, ia
masuk dalam organisasi militer
pribumi bentukan Jepang di Jawa,
yaitu Pembela Tanah Air atau
PETA. Waktu itu tahun 1942, ia
menjadi anggota PETA angkatan
pertama. Sebenarnya usia Daan
Mogot belum memenuhi syarat
yang ditentukan pihak Jepang
yakni 18 tahun. Waktu itu ia
berumur 14 tahun.
Karena prestasinya, ia diangkat
menjadi pelatih anggota PETA di
Bali, kemudian dipindahkan di
Jakarta. Semasa di Bali, ia
mendapatkan dua sahabat sejati
yaitu Kemal Idris dan Zulkifli
Lubis .

Mereka yang berasal dari Seinen
Dojo oleh instruktur Jepang
diangkat sebagi Instruktur
Pembantu. Sebab, latihan yang
akan diberikan kepada mereka
jauh lebih ringan dari latihan
yang pernah diterima pada masa
Seinen Dojo di Tangerang.
Pendidikan dan latihan itu dapat
terlaksana sampai empat
angkatan. Angkatan pertama mulai
bulan Desember 1943 dan
angkatan keempat, terakhir selesai
bulan Juli 1945, sebelum Jepang
takluk pada Sekutu tanggal 15
Agustus 1945.
Ada 50 orang yang diambil dari
peserta latihan angkatan pertama
untuk mengikuti pendidikan
“guerilla warfare” di bawah
pimpinan Kapten Yanagawa. Di
antara mereka yang ikut latihan
khusus itu adalah Daan Mogot,
Kemal Idris, Zulkifli Lubis, Kusno
Wibowo, Sabirin Mukhtar, Satibi
Darwis dan Effendi. Jenis latihan
yang diberikan antara lain
bagaimana cara memelihara
burung merpati, karena burung itu
dapat dipergunakan untuk alat
komunikasi. Di samping itu
mereka dilatih bagaimana
menggunakan senjata yang baik
untuk menghadapi lawan.
Setelah ke-50 orang itu dilantik
menjadi perwira, mereka tidak lagi
bertugas sebagai Instruktur
Pembantu, melainkan menjadi
Shodancho.

Setelah dilantik menjadi perwira
PETA, masing-masing perwira
dikembalikan ke daerah asalnya.
Di Bali, Daan Mogot, Zulkifli Lubis
dan Kemal Idris bersama beberapa
perwira PETA lainnya mendirikan
serta melatih para calon PETA di
sana. Alasan Jepang mendirikan
PETA di Bali, karena Bali dianggap
merupakan daerah pertahanan
dan tempat pendaratan. Untuk itu
kekuatan dipersiapkan, terutama
di daerah Nagara dan Klungkung.
Jepang memberikan kepercayaan
kepada Daan Mogot melatih di
Tabanan , Kemal Idris di Nagara
dan Zulkifli Lubis di Klungkung.
Sekalipun ketiga sahabat itu
terpisah-pisah tempat tugasnya,
namun mereka selalu mengadakan
kontak, baik membicarakan hal
yang berhubungan dengan latihan
maupun tentang nasib rakyat yang
sedang menderita di bawah
telapak penjajah. Kegiatan latihan
yang spesifik saat itu ialah
mempersiapkan pertahanan guna
menghadapi serangan musuh di
pantai. Selama setahun para
Shodancho di Bali menjalankan
tugas dengan baik. Tahun
selanjutnya mereka harus
berpisah. Empat orang Shodancho
harus kembali ke Jawa, sedangkan
Daan Mogot, Zulkifli Lubis , dan
Kemal Idris yang tetap tinggal.
Mereka bertindak sebagai
instruktur PETA, memberikan
latihan kepada calon-calon
perwira hingga mereka mahir
dalam berbagai bidang
ketentaraan.

Pada tahun 1945 ketika Republik
Indonesia diproklamasikan tanggal
17 Agustus 1945, Daan Mogot
menjadi salah seorang tokoh
pemimpin Barisan Keamanan
Rakyat (BKR) dan TKR (Tentara
Keamanan Rakyat) dengan pangkat
Mayor. Ini suatu keunikan pada
masa itu, karena Mayor Daan
Mogot baru berusia 16 tahun
Di sana Badan Keamanan Rakyat
(BKR) yang dibentuk pada tanggal
23 Agustus 1945 mendirikan
markasnya di Jalan Cilacap No. 5
untuk daerah Keresidenan Jakarta,
empat hari sesudah
pembentukannya. Moefreini
Moe’min, seorang bekas syodancho
dari Jakarta Daidan I ditunjuk
sebagai pimpinannya. Sejumlah
perwira yang bergerak di situ
adalah Singgih, Daan Yahya, Kemal
Idris, Daan Mogot, Islam Salim,
Jopie Bolang, Oetardjo, Sadikin
(Resimen Cikampek), Darsono
(Resimen Cikampek), dan lain-lain.
Daan Mogot memang terkenal
dalam sejarah zaman revolusi
perang mempertahankan
kemerdekaan Indonesia pada
pertempuran di hutan Lengkong-
Serpong Tangerang Banten, ketika
Taruna Akademi Militer Tangerang
yang dipimpinnya berusaha
merebut senjata dari pihak tentara
Jepang tanggal 25 Januari 1946.
Ironisnya, sementara ia berjuang
mempertahankan kemerdekaan
Indonesia bahkan rela gugur di
medan pertempuran, ayahnya
tewas dibunuh para perampok
yang menganggap ”orang
Manado” (orang Minahasa) sebagai
londoh-londoh (antek-antek)
Belanda.
Sebagai sponsor terwujudnya
gagasan mendirikan sekolah
akademi militer, maka tanggal 18
November 1945 ia dilantik menjadi
Direktur Militer Akademi
Tangerang (MAT) pada waktu ia
berusia 17 tahun. Sebenarnya di
Yogyakarta juga berdiri Militer
Akademi Yogya (MA Yogya) hampir
bersamaan, yaitu tanggal 5
November 1945. Ide mendirikan
sebuah akademi militer ini
memang seperti yang diangan-
angankan oleh Daan Mogot.
Ide pendirian Militer Akademi
Tangerang itu datang dari empat
orang: Daan Mogot, Kemal Idris,
Daan Yahya dan Taswin.
Pada tahap awal ada 180 orang
Calon Taruna pertama yang
dilatih. Di antara mereka terdapat
mahasiswa yang berasal dari
Sekolah Kedokteran Ika Daigaku
Jakarta. Ada di antara mereka
yang menjadi komandan peleton,
komandan kompi bahkan
komandan batalyon. Sejumlah
perwira dan bintara yang menjadi
pelatih/instruktur MAT antara lain
Kapten Taswin, Kapten Tommy
Prawirasuta, Kapten Rukman,
Kapten Kemal Idris, Kapten Oscar
(Otje) Mochtan, Kapten Jopie
Bolang, Kapten Endjon
Djajaroekmantara, Sersan
Bahruddin, Sersan Sirodz. Di
Resimen Tangerang Taswin
bertugas di staf sedangkan Kemal
Idris di pasukan.
Pada tanggal 24 Januari 1946
Mayor Daan Yahya menerima
informasi bahwa pasukan NICA
Belanda sudah menduduki Parung
dan akan melakukan gerakan
merebut depot senjata tentara
Jepang di depot Lengkong
(belakangan diketahui bahwa
Parung baru diduduki NICA bulan
Maret 1946). Tindakan-tindakan
provokatif NICA Belanda itu akan
mengancam kedudukan Resimen
IV Tangerang dan Akademi Militer
Tangerang secara serius. Sebab
itu pihak Resimen IV Tangerang
mengadakan tindakan
pengamanan. Mayor Daan Yahya
selaku Kepala Staf Resimen, segera
memanggil Mayor Daan Mogot dan
Mayor Wibowo, perwira
penghubung yang diperbantukan
kepada Resimen IV Tangerang.
Tanggal 25 Januari 1946 lewat
tengah hari sekitar pukul 14.00,
setelah melapor kepada komandan
Resimen IV Tangerang Letkol
Singgih, berangkatlah pasukan TKR
dibawah pimpinan Mayor Daan
Mogot dengan berkekuatan 70
taruna MA Tangerang (MAT) dan
delapan tentara Gurkha. Selain
taruna, dalam pasukan itu
terdapat beberapa orang perwira
yaitu Mayor Wibowo, Letnan
Soebianto Djojohadikoesoemo dan
Letnan Soetopo. Kedua Perwira
Pertama ini adalah perwira polisi
tentara (Corps Polisi Militer/CPM
sekarang). Ini dilakukan untuk
mendahului jangan sampai
senjata Jepang yang sudah
menyerah kepada sekutu
diserahkan kepada KNIL-NICA
Belanda yang waktu itu sudah
sampai di Sukabumi menuju
Jakarta.

Setelah melalui perjalanan yang
berat karena jalannya rusak dan
penuh lubang-lubang perangkap
tank, serta penuh barikade-
barikade, pasukan TKR tersebut
tiba di markas Jepang di Lengkong
sekitar pukul 16.00. Pada jarak
yang tidak seberapa jauh dari
gerbang markas, truk
diberhentikan dan pasukan TKR
turun. Mereka memasuki markas
tentara Jepang dalam formasi
biasa. Mayor Daan Mogot, Mayor
Wibowo dan taruna Alex Sajoeti
berjalan di muka dan mereka
bertiga kemudian masuk ke kantor
Kapten Abe. Pasukan Taruna MAT
diserahkan kepada Letnan
Soebianto dan Letnan Soetopo
untuk menunggu di luar.
Gerakan pertama ini berhasil
dengan baik dan mengesankan
pihak Jepang. Di dalam kantor
markas Jepang ini Mayor Daan
Mogot menjelaskan maksud
kedatangannya. Akan tetapi
Kapten Abe meminta waktu untuk
menghubungi atasannya di
Jakarta, karena ia mengatakan
belum mendapat perintah
atasannya tentang perlucutan
senjata. Ketika perundingan
berjalan, rupanya Lettu Soebianto
dan Lettu Soetopo sudah
mengerahkan para taruna
memasuki sejumlah barak dan
melucuti senjata yang ada di sana
dengan kerelaan dari anak buah
Kapten Abe. Sekitar 40 orang
Jepang disuruh berkumpul di
lapangan.
Kemudian secara tiba-tiba
terdengar bunyi tembakan, yang
tidak diketahui dari mana
datangnnya. Bunyi tersebut segera
disusul oleh rentetan tembakan
dari tiga pos penjagaan
bersenjatakan mitraliur yang
tersembunyi yang diarahkan
kepada pasukan taruna yang
terjebak. Serdadu Jepang lainnya
yang semula sudah menyerahkan
senjatanya, tentara Jepang lainnya
yang berbaris di lapangan
berhamburan merebut kembali
sebagian senjata mereka yang
belum sempat dimuat ke dalam
truk.

Dalam waktu yang amat singkat
berkobarlah pertempuran yang
tidak seimbang antara pihak
Indonesia dengan Jepang,
Pengalaman tempur yang cukup
lama, ditunjang dengan
persenjataan yang lebih lengkap,
menyebabkan Taruna MAT
menjadi sasaran empuk. Selain
senapan mesin yang digunakan
pihak Jepang, juga terjadi
pelemparan granat serta
perkelahian sangkur seorang lawan
seorang.
Tindakan Mayor Daan Mogot yang
segera berlari keluar
meninggalkan meja perundingan
dan berupaya menghentikan
pertempuran namun upaya itu
tidak berhasil. Dikatakan bahwa
Mayor Daan Mogot bersama
rombongan dan anak buahnya
Taruna Akademi Militer
Tangerang, meninggalkan asrama
tentara Jepang, mengundurkan
diri ke hutan karet yang disebut
hutan Lengkong.

Taruna MAT yang berhasil lolos
menyelamatkan diri di antara
pohon-pohon karet. Mereka
mengalami kesulitan menggunakan
karaben Terni yang dimiliki. Sering
peluru yang dimasukkan ke kamar-
kamarnya tidak pas karena ukuran
berbeda atau sering macet.
Pertempuran tidak berlangsung
lama, karena pasukan itu
bertempur di dalam perbentengan
Jepang dengan peralatan
persenjataan dan persediaan
pelurunya amat terbatas.
Dalam pertempuran, Mayor Daan
Mogot terkena peluru pada paha
kanan dan dada. Tapi ketika
melihat anak buahnya yang
memegang senjata mesin mati
tertembak, ia kemudian
mengambil senapan mesin
tersebut dan menembaki lawan
sampai ia sendiri dihujani peluru
tentara Jepang dari berbagai
penjuru.

Akhirnya 33 taruna dan 3 perwira
gugur dan 10 taruna luka berat
serta Mayor Wibowo bersama 20
taruna ditawan, sedangkan 3
taruna, yaitu Soedarno, Menod,
Oesman Sjarief berhasil
meloloskan diri pada 26 Januari
dan tiba di Markas Komando
Resimen TKR Tangerang pada pagi
hari.

Pasukan Jepang bertindak dengan
penuh kebengisan, mereka yang
telah luka terkena peluru dan
masih hidup dihabisi dengan
tusukan bayonet. Ada yang
tertangkap sesudah keluar dari
tempat perlindungan, lalu
diserahkan kepada Kempetai
Bogor. Beberapa orang yang masih
hidup menjadi tawanan Jepang
dan dipaksa untuk menggali kubur
bagi teman-temannya. Sungguh
suatu kisah yang pilu bagi yang
masih hidup tersebut. Dalam
keadaan terluka, ditawan, masih
dipaksa menggali kuburan untuk
para rekan-rekannya sedangkan
nasib mereka masih belum jelas
mau diapakan.

Tanggal 29 Januari 1946 di
Tangerang diselenggarakan
pemakaman kembali 36 jenasah
yang gugur dalam peristiwa
Lengkong disusul seorang taruna
Soekardi yang luka berat namun
akhirnya meninggal di RS
Tangerang. Mereka dikuburkan di
dekat penjara anak-anak
Tangerang. Selain para perwira
dari Tangerang, Akademi Militer
Tangerang, kantor Penghubung
Tentara, hadir pula pada upacara
tersebut Perdana Menteri RI Sutan
Sjahrir, Wakil Menlu RI Haji Agus
Salim yang puteranya Sjewket
Salim ikut gugur dalam peristiwa
tersebut beserta para anggota
keluarga taruna yang gugur. Pacar
Mayor Daan Mogot, Hadjari
Singgih memotong rambutnya
yang panjang mencapai pinggang
dan menanam rambut itu bersama
jenasah Daan Mogot. Setelah itu
rambutnya tak pernah dibiarkan
panjang lagi.



About

mein_liebe.inc. Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Translate