WE ARE SHARE WHO WE ARE KNOW

KAMP KEMATIAN EISHENHOWER (PART 1)

Share on :

Di kamp tahanan Andernach
terdapat sekitar 50.000 tahanan dari berbagai umur.
Mereka ditempatkan di tempat terbuka dikelilingi kawat berduri. Para wanita
ditempatkan terpisah namun
tidak pernah saya lihat lagi
kemudian. Para tahanan laki-
laki yang saya jaga tidak
mempunyai atap maupun alas tidur. Mereka tidur di atas lumpur, basah dan
kedinginan, dengan jumlah wc yang tidak memenuhi
kebutuhan. Mereka menjalani
itu semua bertahun-tahun,
dari musim panas, gugur
hingga musim dingin. Dan
pada saat musim dingin, penderitaan karena
kedinginan sangat luar biasa.
Yang lebih mengejutkan adalah para tahanan
memasukkan rumput dan daun-daunan ke dalam
kaleng berisi seseduh sop. Mereka mengatakan
melakukannya untuk mengurangi rasa lapar
mereka. Maka dengan cepat mereka menjadi lemah
dan mengalami berbagai penyakit. Disenteri merajalela, dan banyak dari mereka harus tidur di
atas kotorannya sendiri karena terlalu lemah untuk
berjalan ke wc. Banyak dari mereka yang berteriak-teriak minta makanan, jatuh sakit, dan mati di depan mata kami. Kami mempunyak
banyak makanan, namun tidak melakukan apapun
untuk menolong mereka, termasuk memberikan
pertolongan medis.

==============

Pada bulan Oktober 1944, dalam usia 18 tahun,
saya bergabung dengan angkatan darat Amerika.
Karena berkecamuknya Pertempuran Bulge, masa
latihan saya dipersingkat dan segera dikirim ke Eropa. Setelah sampai di Le Havre, Perancis, saya langsung dimasukkan ke dalam kendaraan pengangkut dan dikirim ke medan peperangan. Saat saya sampai di sana, saya menderita gejala penyakit mononucleosis yang parah sehingga dikirim ke rumah sakit di Belgia. Dan karena
penyakit ini sering disebut sebagai “penyakit
ciuman”, saya mengirim surat kepada pacar saya
dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Pada saat saya meninggalkan rumah sakit, kesatuan saya, Resimen 14 Infrantri, sedang terlibat perang hebat di jantung peperangan di Jerman, maka saya hanya ditempatkan di satuan penjaga depot cadangan meski saya memprotesnya dengan keras. Saya kurang respek dengan satuan baru
tempat saya bergabung karena bagi seorang
prajurit, kebanggaan sebenarnya adalah jika bisa
bergabung dengan satuan tempur. Kemudian pada bulan Maret atau awal April 1945 saya dikirim untuk mengawal tawanan perang
Jerman di sebuah kamp tawanan perang dekat
Andernach yang berada di tepi sungai Rhine. Saya
pernah belajar di sekolah Jerman selama 4 tahun
dan bisa berbahasa Jerman, meski berbicara
dengan tawanan adalah tindakan melawan hukum.
Namun kemudian saya dipercaya untuk menjadi
penerjemah bahasa Jerman dan ditugaskan untuk
mencari anggota satuan khusus yang tidak pernah
saya temukan di sana.
Di kamp tahanan Andernach terdapat sekitar 50.000 tahanan dari berbagai umur. Mereka ditempatkan di tempat terbuka dikelilingi kawat berduri. Para wanita ditempatkan terpisah namun
tidak pernah saya lihat lagi kemudian. Para tahanan laki-laki yang saya jaga tidak mempunyai atap maupun alas tidur. Mereka tidur di atas lumpur, basah dan kedinginan, dengan jumlah wc yang tidak memenuhi kebutuhan. Mereka
menjalani itu semua bertahun-tahun, dari musim
panas, gugur hingga musim dingin. Dan pada saat
musim dingin, penderitaan karena kedinginan sangat luar biasa.

Yang lebih mengejutkan adalah para tahanan
memasukkan rumput dan daun-daunan ke dalam
kaleng berisi seseduh sop. Mereka mengatakan
melakukannya untuk mengurangi rasa lapar
mereka. Maka dengan cepat mereka menjadi lemah
dan mengalami berbagai penyakit. Disenteri
merajalela, dan banyak dari mereka harus tidur di
atas kotorannya sendiri karena terlalu lemah untuk
berjalan ke wc. Banyak dari mereka yang berteriak-teriak minta makanan, jatuh sakit, dan mati di depan mata kami. Kami mempunyai
banyak makanan, namun tidak melakukan apapun
untuk menolong mereka, termasuk memberikan
pertolongan medis.
Dengan marah, saya memprotes komandan saya
untuk memberi perlakuan yang lebih manusiawi,
namun justru mendapatkan kemarahan darinya.
Setelah saya desak, ia mengaku mendapat perintah
dari komando tertinggi dengan perintah yang
sangat tegas. Tidak ada seorang pun perwira yang
berani menentang perintah itu. Menyadari protes
saya tidak berguna, saya meminta teman yang
bekerja di dapur untuk menyelipkan sejumlah
makanan kepada saya untuk dibagikan kepada para
tawanan. Namun ia juga menolak, berdalih
mendapat larangan keras dari "komandan tertinggi". Namun ia juga mengatakan ada banyak makanan tersisa yang bisa saya "selundupkan" sebagian.
Saat saya melemparkan makanan-makanan itu
melalui kawat berduri, saya ditangkap dan diancam
dengan hukuman penjara. Saya memprotes keras
penangkapan itu, dan seorang perwira mengancam
akan menembak saya. Saya menyangka itu hanya
gertakan sampai saya melihat dengan mata saya
sendiri seorang kapten menembak mati
segerombolan wanita Jerman dengan menggunakan pistol. Saat saya bertanya mengapa,
dengan enteng ia menjawab, "sasaran latihan!". Ia
terus menembak hingga pelurunya habis. Saat itu saya baru menyadari bahwa saya berurusan dengan para pembunuh berdarah dingin
yang dipenuhi dengan kebencian yang membuncah. Mereka menganggap orang Jerman sebagai mahluk rendah yang patut dibunuh.
Artikel-artikel di koran tentara, "Stars and Stripes"
turut mengkampanyekan penghancuran orang-
orang Jerman, dengan memblow-up kondisi
kamp-kamp tawanan untuk menjadikannya
sebagai sebuah kewajaran. Selain itu bagi para
prajurit yang tidak pernah bertempur di medan
perang, memperlakukan para tawanan secara
kejam dianggapnya bisa menunjukkan keberanian
mereka. Para tawanan itu, sejauh yang saya dapatkan,
sebagian besar adalah para petani dan pekerja
biasa, sebagaimana juga para tentara kita sendiri.
Seiring berjalannya waktu, sebagian besar dari
mereka berubah menjadi manusia zombie yang
kurus kering. Sebagian lagi berusaha melarikan diri
dengan cara seperti sengaja membunuh diri, hanya
untuk mendapatkan setangkup air segar Sungai
Rhine.

Mereka bergerak dengan sangat lambat. Sebagian
mereka, ketagihan rokok sebagaimana keinginan
mendapatkan makanan. Beberapa tentara Amerika
menjadikannya sebuah bisnis. Mereka memberikan
beberapa batang rokok untuk mendapatkan ganti
jam, kalung, cincin atau gelang milik tawanan. Saat
saya melemparkan beberapa kadus rokok ke dalam
kamp untuk "menghancurkan" bisnis tidak berperi kemanusiaan ini, saya diancam bunuh oleh
beberapa tentara termasuk perwira. Satu-satunya keindahan yang saya dapatkan di sana terjadi pada suatu malam saat saya bertugas dalam "sift kuburan" antara pukul 2 dan 4 dinihari.
Terdapat sebuah pekuburan di atas bukit tidak jauh
dari kamp tawanan. Komandan saya lupa
memberikan saya lampu sorot, dan saya pun tidak
merasa keberatan untuk tidak menggunakan lampu
sorot menjaga para tawanan untuk tidak melarikan
diri. Malam itu bulan bersinar sehingga saya bisa
melihat seorang tawananan merangkak keluar
menuju pemakaman. Kami diperintah untuk
menembak tawanan yang tampak berusaha
melarikan diri, namun saya tidak ingin melakukannya. Saya bergerak ke arahnya untuk memberi peringatan kepadanya agar kembali.
Tiba-tiba saja melihat tawanan yang lain
merangkak dari atas pekuburan kembali ke kamp
tawanan. Mereka menanggung resiko besar dengan melakukan semua itu, maka saya memutuskan
untuk menyelidikinya.
Saat saya memasuki pemakaman berbentuk
segitiga itu, saya merasa agak rentan, namun rasa
penasaran memaksa saya terus bergerak maju.
Namun meski saya sudah bergerak hati-hati, kaki
saya terantuk pada kaki seseorang yang tengah
merunduk bersembunyi. Terkejut, saya mengarahkan senjata untuk menembak, namun tidak saya lakukan. Orang yang tersandung kaki itu kemudian berdiri. Kemudian secara perlahan saya melihat jelas sosok di depan saya, seorang wanita
cantik dengan keranjang makanan di sampingnya,
berdiri dengan wajah pucat karena ketakutan. Saya
memberi isyarat bahwa saya tidak keberatan dengan tindakan wanita itu dan kemudian segera
meninggalkan tempat itu.
Saya melakukannya dengan cepat, berusaha tidak
membuat para tawanan ketakutan. Saya masih
terus teringat dengan peristiwa saat itu.
Membayangkan seperti apa rasanya berada dalam
posisi seperti para tawanan itu, bertemu dengan
wanita cantik yang baik hati dan berani mempertaruhkan nyawanya untuk menolong para tawanan. Saya tidak akan pernah bisa melupakan
wajah cantik itu.
Kemudian saya melihat semakin banyak tawanan
yang merangkak bolak-balik ke pemakaman itu,
membawa makanan dan membagi-baginya kepada
teman-teman mereka di dalam kamp. Seperti
wanita itu, mereka pun menanggung resiko yang
sangat serius, ditembak mati jika ketahuan
penjaga.

SOURCE:
Martin Brech; "In ‘Eisenhower’s Death Camps’: A U.S. Prison Guard’s Story"; The Journal of Historical Review , vol. 10, no. 2, pp. 161-166; dimuat dalam situs truthseeker.co.uk ; 16 Maret

0 komentar on KAMP KEMATIAN EISHENHOWER (PART 1) :

About

mein_liebe.inc. Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Translate