WE ARE SHARE WHO WE ARE KNOW

Politik Energi (Strategi dan Konflik Berkaitan Sumber Daya Energi di Dunia)

Share on :
Politik energi, merupakan sebuah taktik atau strategi politik yang terbilang cukup menarik. Politik energi ini merupakan salah satu cara dari negara-negara yang memiliki sumber daya alam energi besar untuk membangun pengaruh mereka di dunia internasional. Politik energi bagi negara-negara produsen sumber daya energi sederhananya merupakan cara untuk menciptakan ketergantungan dari negara-negara konsumen sumber daya energi kepada negara-negara produsen sehingga memungkinkan negara produsen untuk mengendalikan arus sumber daya energi dan memaksa negara-negara konsumen untuk mengikuti permaianan politik yang dijalankan oleh mereka.

Kebutuhan energi adalah kebutuhan yang paling mendasar bagi negara-negara yang ada di atas dunia. Sejak Revolusi Industri pada abad ke 19, sumber daya energi menjadi sumber daya yang sangat vital untuk kebutuhan industrialisasi negara-negara industri demi menghidupkan mesin-mesin industrinya yang terus berproduksi tanpa henti demi menghasilkan keuntungan. Sayangnya, energi yang dibutuhkan oleh negara-negara industri di dunia tidak tersebar secara merata. Banyak negara-negara industri yang proses industrialisasinya berkembang pesat justru miskin akan sumber daya energi. Sumber daya energi yang dibutuhkan oleh negara-negara industri justru sebagian besar berasal dari wilayah negara-negara dunia ketiga atau negara-negara berkembang. Ketika Kolonialisme dan Imperialisme masih bercokol kuat di negara-negara dunia ketiga, sumber daya energi bukanlah masalah yang terlalu besar bagi negara-negara kolonis Industrialis yang mendapatkan sumber daya tersebut dari negara-negara jajahannya, namun ketika proses dekolonialisasi terjadi pasca Perang Dunia II, barulah masalah baru timbul bagi negara-negara industrialis. Kehilangan jajahan sama artinya kehilangan sumber daya energi penting untuk menghidupkan mesin-mesin industri mereka. Dalam sekejap proses Dekolonialisasi membuat negara-negara industri berada dalam posisi yang terjepit diantara negara-negara produsen energi yang juga sedang dibakar oleh gelora nasionalisme dan anti kolonialisme.

Bagi negara-negara dunia ketiga yang baru saja terbebas dari kolonialisme, justru kepemilikan atas sumber daya energi yang penting dan vital menjadi salah satu keuntungan utama untuk membangun pengaruh mereka diatas dunia. Negara-negara dunia ketiga/berkembang yang paham mengenai potensi kekayaan alam mereka yang sangat dibutuhkan dunia khususnya sumber daya energi seperti minyak bumi segera bertindak menjadikan potensi tersebut sebagai senjata utama untuk membangun pengaruh mereka diatas dunia. Hal yang paling tampak dari upaya negara-negara dunia ketiga/berkembang untuk membangun pengaruh tersebut adalah pendirian OPEC (Organization of Petrolium Exporting Countries) yang didirikan pada tahun 1960 untuk mewadahi negara-negara produsen sumber daya energi minyak bumi. Pada tahun-tahun pertama berdirinya, OPEC telah berperan dalam menyumbangkan sekitar 40 % dari produksi minyak dunia dan lebih dari tiga perempat cadangan minyak dunia yang membuat kekuatan global menjadi khawatir dengan potensi OPEC untuk mengontrol arus energi minyak bumi. Kontrol OPEC terhadap arus energi minyak bumi memang semakin menguat, pada tahun 1970 OPEC telah berkembang menjadi kekuatan oligopoli yang menguasai seluruh peredaran minyak bumi termasuk harga dan penyebarannya ke berbagai belahan dunia. Berkat hal itu, negara-negara OPEC memiliki kekuatan politik rill untuk ikut menentukan pecaturan politik global pada masa itu bahkan negara-negara OPEC mampu memaksa negara-negara industrialis untuk kepentingan negara mereka. Bukti dari kekuatan politik dari negara-negara penghasil minyak dapat dilihat dari tindakan Libya ditahun 1970. Pemimpin Libya “Muamar Qadaffi” memaksa perusahaan-perusahaan minyak asing yang beroperasi di negaranya untuk menaikkan harga minyak dengan ancaman penyitaan aset mereka oleh negara. Tindakan Libya ini kemudian diikuti oleh negara-negara penghasil minyak lainnya dan kemudian membuat perusahaan-perusahaan minyak dunia melibatkan negara-negara penghasil minyak dalam upaya untuk menentukan dan menjaga kestabilan harga minyak melalu negoisasi multiratera yang dengan demikian mengukuhkan posisi negara-negara OPEC sebagai pihak yang mengatur jalannya arus sumber daya energi minyak bumi.

Kekalahan negara-negara Arab dalam Perang Yom Kippur 1973, membuat negara-negara Arab memikirkan strategi baru untuk melawan Israel dan negara-negara industrialis yang berdiri dibelakangnya. Negara-negara Arab bersepakat untuk menjadikan minyak bumi sebagai senjata politik melawan negara-negara industrialis yang berdiri di belakang Israel. Hasil embargi minyak tahun 1973 tersebut menyebabkan terjadinya krisis energi besar di negara-negara industrialis. Mesin-mesin industri berhenti berproduksi dan perekomian negara-negara industrialis terancam hancur akibat ketergantungan mereka akan sumber daya energi minyak bumi. Disinilah negara-negara penghasil minyak bumi mampu menciptakan suatu ketergantungan negara besar terhadap mereka dengan memanfaatkan potensi yang mereka miliki untuk memaksa negara-negara industri besar tunduk pada kepentingan negara-negara produsen minyak bumi demi kelancaran arus energi minyak bumi. Namun hal itu tidak berlangsung lama, strategi baru yang disusun negara-negara industrialis seperti penghematan energi mampu menstabilkan kembali ekonomi mereka dan devaluasi mata uang Dollar AS membuat Amerika Serikat mampu memanfaatkan posisinya sebagai negara pemegang kekuatan ekonomi dunia untuk melawan politik energi negara-negara Arab. Dengan Dollar AS sebagai mata uang internasional, Amerika Serikat menekan keuangan OPEC yang membuat keuangan OPEC menjadi melemah. Selain itu ditemukannya minyak non Arab yang bukan anggota OPEC menyebabkan embargo minyak Arab menjadi runtuh dengan sendirinya. Negara-negara industrialis beralih ke negara-negara penghasil minyak non Arab yang akhirnya meruntuhkan monopoli negara-negara Arab dan OPEC atas minyak dunia. Selain itu kekacauan yang timbul di negara-negara OPEC khususnya negara-negara Timur Tengah menyebabkan kendali atas minyak dunia yang semula dipegang oleh OPEC mengalami kemunduran.

Namun OPEC dan negara-negara Arab bukanlah satu-satunya monopoli atas sumber daya energi. Sumber Daya Energi non Arab dan non OPEC yang terbesar saat ini dipegang oleh Rusia. Rusia muncul sebagai kekuatan yang memegang kendali atas sumber daya energi semenjak pemerintahan Presiden Vladimir Putin yang mereformasi kebijakan politik dan perekonomian Rusia dan mengarahkan Rusia kearah politik energi dimana Rusia menggunakan sumber daya energi yang dimilikinya untuk menciptakan ketergantungan negara-negara konsumen dan membangun pengaruh Rusia kembali dari puing-puing Uni Soviet. Strategi yang digunakan oleh Rusia untuk memanfaatkan sumber daya energinya termasuk menyasar negara-negara konsumen energi dan memanfaatkan energi Rusia untuk kepentingan Rusia. Kebijakan Putin mengenai politik energi dimulai dengan penandatanganan undang-undang yang memungkinkan pemerintah mengalokasikan minyak strategis dan gas di landasan komintmen tanpa lelang prosedur pada Juli 2008 yang dilanjutkan dengan nasionalisasi Gazprom atau perusahaan minyak dan gas Rusia sehingga sumber daya energi tersebut dikuasai sepenuhnya oleh negara. Pada Februari 2011, Rusia menandatangani kesepakatan dengan RRC (Republik Rakyat Cina) dimana RRC setuju memberikan pinjaman sebesar 20 miliar dollar AS kepada perusahaan minyak dan gas Rusia sebagai gantinya Rusia akan menyuplai RRC untuk kebutuhan minyak mentah melalui pipa-pipa barunya untuk dua puluh tahuh kedepan. Alasan Rusia menjalin kerjasama dengan RRC dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dari RRC. Pertumbuhan ekonomi RRC menyebabkan proses industrialisasinya juga berkembang pesat sehingga RRC tentu membutuhkan suplai sumber daya energi dalam jumlah besar. RRC sendiri juga berusaha mengamankan pasokan sumber daya energinya demi kebutuhan industri negaranya oleh karena itu Rusia mendekati RRC dan menjalin kerjasama untuk keduabelah pihak dimana Rusia membutuhkan dana untuk perusahaan minyak dan gasnya dan RRC membutuhkan sumber daya energi untuk industri-industrinya. Selain dengan RRC, Rusia juga menjalin kerjasama dengan negara-negara Asia Tengah yang juga merupakan produsen sumber daya energi minyak dan gas. Kerjasama itu diantaranya kesepakatan pembangunan pipa-pipa minyak dan gas melintasi Laut Kaspia yang ditandatangani Rusia bersama dengan Kazakhstan dan Uzbekistan pada Desember 2007.  Rusia berharap pipa gas tersebut mampu mengekspor 20 miliar meter kubik per tahunnya pada tahapan awal.

Rusia memang memahami betul potensi sumber daya energi yang dimilikinya. Sumber daya energi tersebut dijadikan Rusia sebagai salah satu penopang kekuatan ekonominya, bahkan bisa dikatakan bahwa, penyumbang terbesar bagi pertumbuhan produksi domestik bruto (PDB) Rusia sekitar 5,7 persen dari rata-rata 6-7 persen pertumbuhan PDB pertahun di pengaruhi oleh sektor minyak dan gas alam yang dimiliki oleh Rusia. Kenaikan penerimaan dari migas membuat Rusia juga mencatatkan peningkatan cadangan devisa dari 12 miliar dollar AS pada tahun 1999 menjadi 315 miliar dollar AS pada tahun 2006 (ketiga terbesar di dunia setelah RRC dan Jepang). Cadangan devisa Rusia pada Oktober 2007 mencapai 447,9 miliar dollar AS. Dengan demikian sumber daya energi menjadi salah satu penopang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Rusia.

Strategi politik energi Rusia, selain memanfaatkan sumber daya energi sebagai sarana untuk pertumbuhan ekonominya dan menjalin kerjasama dengan negara-negara lain, Rusia juga menggunakannya sebagai senjata politik untuk memperlebar sayap pengaruhnya. Rusia melalui sumber daya energinya yang besar merupakan produsen utama bagi negara-negara Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa. Uni Eropa adalah konsumen terbesar sumber daya energi Rusia dan Rusia menciptakan ketergantungan bagi Uni Eropa akan suplai minyak dan gas dari negaranya. Dengan demikian, Rusia mampu memanfaatkan potensinya untuk memaksa Uni Eropa agar tidak menganggu kepentingan Rusia. Dengan memanfaatkan sumber daya energinya, Rusia berusaha membangun kembali pengaruh Uni Soviet dengan memperkuat kesatuan negara-negara CIS (Commonwealth of Independent States) dalam poros Rusia. Rusia juga memanfaatkan CIS untuk mengamankan negara-negara bekas USSR seperti Kazakshtan dan Uzbekistan yang juga merupakan produsen sumber daya energi untuk merapat ke dalam poros Rusia dan menghalangi intervensi negara-negara industrialis Barat terhadap negara-negara di Asia Tengah tersebut. Usaha Rusia untuk memperkuat CIS memang pada akhirnya menimbulkan konflik di wilayah Ukraina yang memancing keterlibatan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk melawan Rusia. Namun konflik tersebut memang sebuah panggung yang sudah disiapkan Rusia untuk permaianan politiknya. Konflik Ukraina tidak hanya menegaskan keinginan Rusia untuk menjaga CIS namun juga bertujuan untuk memancing negara-negara konsumen energi Rusia. Tentu saja Rusia berkeinginan untuk menegaskan pula bahwa Uni Eropa tidak boleh macam-macam terhadap kepentingan Rusia, dan Uni Eropa memang tidak dapat berbuat banyak sebab mereka adalah konsumen energi terbesar Rusia dan apabila sampai Rusia mengembargo sumber daya energi tersebut, maka Uni Eropa akan mengalami krisis energi dan krisis ekonomi besar yang dapat mengancam kestabilan negara-negara anggotanya. Dengan demikian Rusia bermain cerdik, Rusia memanfaatkan sumber daya energinya untuk memaksa negara-negara konsumennya untuk tidak mencampuri urusan Rusia lebih jauh. Rusia mampu memanfaatkan sumber daya energinya yang besar sebagai senjata politik maupun ekonomi yang tidak hanya mampu memperkuat kembali perekonomian Rusia, namun juga mampu melebarkan sayap pengaruh Rusia kembali.
SOURCES:
Mansbach, Richard W dan Kirsten L. Raffery. 2012, Pengantar Politik Global, Bandung: Penerbit Nusa Media.
Saragih, Simon. 2008,  Bangkitnya Rusia, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara

 “Monitors key to Russian gas deal” [Online] dalam http://news.bbc.co.uk, 2009 (diakses 09 Desember 2014)
“Kronologi Sengketa Gas Rusia-Ukraina”[Online] dalam http://nasional.kompas.com , 2009 (diakses 09 Desember 2014)
“Eropa Krisis Pasokan Gas Alam” [Online] dalam http://dunia.news.viva.co.id, 2009 (diakses 09 Desember 2014)

1 komentar:

Fox mengatakan... 15 Juli 2019 pukul 12.26

jasa taman minimalis
vertikal taman vertical garden
arsitek lansekap pertamanan
jasa pembuat taman
jasa tukang taman
forum indonesia

About

mein_liebe.inc. Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Translate