WE ARE SHARE WHO WE ARE KNOW

Dalam Cengkraman Sekte Wahabi Terakhir ..

Share on :
Sekte Salafi Wahabi muncul setelah pendiri sekte itu, Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi bertemu dengan Hempher di Basrah dan di antaranya kemudian terjalin pertemanan yang dimanfaatkan Hempher untuk menyukseskan misi yang diembannya di Irak.

Muhammad bin Abdul Wahab, menurut Hempher, adalah pemuda yang kasar, penggugup, namun angkuh dan selalu mengikuti hawa nafsunya sendiri dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw..

Pertemuan Hempher dengan pemuda yang menguasai bahasa Arab, Persia, dan Turki tersebut terjadi pada 1713 Masehi (1125 Hijriyah), atau tak lama setelah agen mata-mata Inggris itu mendarat di Bashrah dan melakukan penyamaran yang sama dengan ketika bertugas di Istambul, yakni mengaku sebagai pemuda Turki yatim piatu bernama Muhammad. Bahkan untuk memperkuat penyamarannya, Hempher tak segan-segan mengaku sebagai murid ulama Ahmed Efendi asal Istambul.

Penyamaran Hempher ini nyaris terbongkar pada awal-awal kedatangannya di Bashrah. Kala itu, begitu tiba di salah satu kota terbesar di Irak tersebut, Hempher tinggal di Masjid Syaikh Umar Efendi karena belum mendapatkan rumah sewaan. Imam masjid itu, Syaikh Umar ath-Tha’i, rupanya telah mencurigainya sejak ia datang, dan ia diberondong dengan berbagai pertanyaan, termasuk soal identitasnya. Ia berhasil meyakinkan kyai Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) asal Arab itu kalau ia memang berasal dari Turki, bukan orang Inggris, namun kemampuannya meyakinkan sang Kyai bahwa ia berasal dari Turki, justru membuatnya dicurigai sebagai mata-mata yang dikirim pemerintah Khalifah Islam Turki ‘Utsmani. Hempher pun hengkang dari masjid dan berhasil mendapatkan kamar di sebuah penginapan milik pengusaha bernama Mursyid Efendi.

Namun, kesialan ternyata masih menguntit Hempher karena pengakuannya kalau ia masih lajang dan belum pernah menikah, membuat Mursyid menganggap dirinya sebagai pembawa sial bagi penginapan yang dia kelola. Mursyid bahkan memberinya solusi untuk mengatasi masalah ini, yakni meminta Hempher segera menikah atau keluar dari penginapannya secepat mungkin. Karena sedang mengemban misi dan juga telah menikah, Hempher akhirnya memilih meninggalkan penginapan Mursyid dan kemudian menyewa kamar di sebuah penginapan milik tukang kayu bernama Abdur Ridha. Sambil menginap di sini, dia juga bekerja sebagai asisten pemilik penginapan tersebut.

Abdur Ridha, jelas Hempher, merupakan seorang pria gagah penganut ajaran Syi’ah, dan berasal dari Khurasan. Setiap sore, penginapan Abdur Ridha didatangi orang-orang Syi’ah dari Iran, dan mereka semua bersama Abdur Ridha memperbincangkan berbagai persoalan, baik politik maupun ekonomi. Selama perbincangan berlangsung, orang-orang ini tak segan-segan mengecam pemerintah Irak dan Kekhalifahan Islam Turki ‘Utsmani. Jika saat perbincangan berlangsung ada orang asing yang datang, mereka mengubah topik pembicaraan kepada persoalan-persoalan pribadi. Hempher mengaku kalau Abdur Ridha dan orang-orang Syi’ah Iran itu sangat mempercayainya, karena bahasa Turki yang ia gunakan ternyata membuat dirinya dikira berasal dari Azerbaijan.

Saat Abdur Ridha berbincang dengan orang-orang Syi’ah dari Iran tersebut kadangkala datang seorang anak muda berpakaian perlente yang mengesankan kalau dia adalah pemuda terpelajar yang sedang melakukan penelitian ilmiah. Pemuda inilah Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi. Kedatangan pemuda ini sempat membuat Hempher terheran-heran karena dari caranya berpakaian, Muhammad bin Abdul Wahab yang berasal dari Najd jelas orang Sunni, dan antara Sunni dengan Syi’ah sama sekali tidak akur, selalu bertentangan. Keheranan makin bertambah karena pemuda ini juga selalu mengecam habis-habisan Kekhalifahan Islam Turki ‘Utsmani yang juga Sunni seperti dirinya.

Keheranan Hempher terjawab setelah ia memahami karakter Muhammad bin Abdul Wahab yang penggugup, tapi kasar, sombong dan selalu menuruti hawa nafsunya sendiri dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah itu, karena sifat sombong, kasar dan selalu menuruti hawa nafsunya membuat Muhammad bin Abdul Wahab selalu menolak dan menentang apapun yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan dan jalan fikirannya. Pemuda ini bahkan mengabaikan pandangan semua ulama, baik ulama di zamannya maupun imam empat mazhab fikih Sunni (Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, dan Muhammad bin Idris asy-Syafi’i), serta tidak mengakui para sahabat terkemuka Rasulullah Saw. seperti Abu bakar Siddiq dan Umar bin Khattab. Mengenai sikapnya ini, Muhammad bin Abdul Wahab berpegang pada sabda Rasulullah Saw yang menyatakan; “Telah kutinggalkan untuk kalian Al Qur’an dan Sunahku”. Karena Sabda Rasulullah Saw adalah demikian, maka menurut Muhammad bin Abdul Wahab, ia tak perlu mengikuti para sahabat maupun para imam mazhab. Padahal ketika dalam perbincangan di penginapan Abdur Ridha hal ini ikut diperdebatkan, salah seorang ulama Syiah dari Qum, Syaikh Jawad, menjelaskan, selain hadist tersebut, juga ada hadist yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Telah kutinggalkan untuk kalian Kitab Allah dan Ahlul Baitku”. Dan yang dimaksud Ahlul Bait dalam hadist ini meliputi keluarga dan sahabat Nabi Saw, serta para imam/ulama.

Sifat dan pola fikir Muhammad bin Abdul Wahab membuat Hempher senang, dan bahkan merasa kalau anak muda ini adalah orang yang tepat yang dapat ia peralat untuk memecah-belah Islam, karena orang seperti ini sangat mudah disesatkan dan pemikiran-pemikirannya dapat didorong untuk dijadikan dasar pendirian sebuah sekte yang menyimpang dari ajaran Islam. Apalagi karena Muhammad bin Abdul wahab pernah sesumbar dengan mengaku dirinya jauh lebih baik dari Abu Hanifah, dan menilai kalau separuh isi kitab Shahihal-Bukhari, buku yang berisi hadist riwayat Bukhari, dipenuhi dengan kesesatan.

***

Hempher mendekati Muhammad bin Abdul Wahab dan menjalin pertemanan dengannya. Untuk membuatnya besar kepala dan kian sombong, Hempher sengaja selalu memuji-muji dan membangga-banggakan pemuda itu di dalam setiap kesempatan. Misalnya saja, Hempher pernah mengatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab lebih hebat dari Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, sehingga seandainya saja Rasulullah Saw masih hidup, beliau pasti akan menunjuk Muhammad bin Abdul Wahab sebagai khalifah, bukan kedua sahabatnya itu.

“Aku harap Islam akan berjaya dan gemilang di tanganmu, karena engkau lah satu-satunya ulama yang akan berhasil menyebarkan Islam ke segenap penjuru dunia,” katanya.

Hasutan dan pujian yang diumbar Hempher habis-habisan membuat Muhammad bin Abdul Wahab mabuk kepayang, sehingga ketika Hempher mengajaknya menyusun sebuah tafsir baru Al Qur’an yang hanya berdasarkan pendangan-pandangan mereka berdua saja, Muhammad bin Abdul Wahab setuju. Meski pun tafsir itu bertolak belakang dengan tafsir para sahabat Rasulullah saw, para imam mazhab, dan para ulama tafsir Al Qur’an. Tujuan Hampher mengajak pembuatan tafsir baru ini jelas, yakni menyesatkan Muhammad bin Abdul Wahab. Apalagi karena jelas sekali kalau pemuda ini memang ingin tampil sebagai seorang revolusioner sejati yang pandangan-pandangannya dapat diterima masyarakat luas, meski pandangan-pandangan itu berbeda dengan para ulama, sahabat, dan Rasulullah sendiri, sehingga apapun gagasan Hempher, dengan senang hati diterimanya.

Maka begitu lah, di tangan Hempher, Muhammad bin Abdul Wahab benar-benar terseret pada kesesatan dan menyimpang jauh dari ajaran Islam yang sejati. Apalagi ketika Hempher mengusulkan untuk menghalalkan nikah mut’ah (kawin kontrak), dia setuju, dan kepadanya diberikan seorang perempuan bernama Shafiyyah untuk dinikahi dengan cara yang dilarang dalam Islam tersebut. Shafiyyah, jelas Hempher dalam buku Catatan Harian Seorang Mata-mata dan Persekongkolan Menghancurkan Islam, adalah salah seorang dari begitu banyak wanita Kristen yang dikirim Kementerian Persemakmuran untuk merayu para lelaki Muslim di Irak agar terjerumus dalam perzinahan dan prostitusi. Nama Shafiyyah pun bukan nama sebenarnya, melainkan hanya nama panggilan semata.

Muhammad bin Abdul Wahab menikahi Shafiyyah secara mut’ah hanya untuk satu minggu dengan mahar sejumlah emas. Ayat yang digunakan Hempher untuk menjerumuskan Muhammad bin Abdul Wahab agar terjerumus dalam perzinahan adalah Surah An-Nisa ayat 42 yang berbunyi; “ … Karena kalian beroleh kenikmatan dari mereka, berilah mereka maharnya sebagai kewajiban yang ditentukan …” Makna ayat ini sebenarnya mengatur tata cara pernikahan, bukan menghalalkan nikah mut’ah.

Sukses mejerumuskan Muhammad bin Abdul Wahab dalam perzinahan, Hempher kemudian menjerumuskannya dalam khamar (minuman keras). Dalil yang digunakan Hempher adalah riwayat tentang Yazid dan Khalifah Bani Umayyah dan Bani ‘Abbasiyyah yang menenggak khamar, padahal mereka adalah orang-orang yang pemahaman Al Qur’an-nya lebih baik dibanding Muhammad bin Abdul Wahab, sehingga berdasarkan riwayat ini, maka menurut Hempher, meminum khamar adalah makruh, bukan haram. Bahkan menurut Hempher, Ummar bin Khattab biasa meminum khamar, sehingga turun lah Surah Al Ma’idah ayat 91 yang berbunyi; “Setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian karena khamar dan judi, serta menghalangi kalian dari mengingat Allah dan mengerjakan sholat. Maka, tidakkah kalian menghentikannya sekarang juga?”

Untuk meyakinkan Muhammad bin Abdul Wahab, Hempher mengatakan kalau berdasarkan ayat ini, meminum khamar sesungguhnya tidak haram asalkan tidak mabuk, tidak melupakan Allah, dan tidak lupa sholat. Lebih parah lagi, Hempher juga menggunakan Surah Thaha ayat 14 untuk membuat Muhammad bin Abdul Wahab meninggalkan sholat. Karena bunyi ayat itu adalah “ … Dan kerjakanlah sholat untuk mengingat-Ku”, maka menurut Hempher, umat Islam sebenarnya tidak sholat pun tidak apa-apa asalkan tetap mengingat Allah.

Di tangan Hempher, Muhammad bin Abdul Wahab benar-benar dibuat tersesat dari ajaran Islam yang sesungguhnya, dan keyakinannya terhadap Islam meluntur. Muhammad bin Abdul Wahab sebenarnya sempat mencurigai niat jahat di balik semua dalil yang dicekoki Hempher kepadanya, sehingga suatu kali Muhammad bin Abdul Wahab pernah berkata begini kepada Hempher; “Apakah engkau sedang berusaha membuatku keluar dari agamaku?” Kecurigaan Muhammad bin Abdul Wahab itu muncul ketika Hempher ingin menyesatkannya juga dalam hal berpuasa, karena kala itu Hempher mengutip surah Al Baqarah ayat 184 yang berbunyi; “ .. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya”. Menurut Hempher, karena dalam ayat ini tidak terdapat kata “wajib”, maka sebenarnya berpuasa bagi umat Islam sunah hukumnya, bukan wajib. Atas kecurigaan Muhammad bin Abdul Wahab tersebut, Hempher berkilah bahwa agama adalah kesucian hati, keselamatan jiwa, dan bukan pelanggaran atas hak-hak orang lain, karena bukankah Rasulullah Saw. bersabda, “Agama adalah Cinta?” Bahkan dalam surah Al-Hajr, Allah SWT. berfirman; “Dan beribadahlah kepada Tuhanmu sampai datang yaqin kepadamu’.

Maka menurut Hempher, berdasarkan sabda Rasulullah dan firman Allah SWT., ketika seseorang telah mencapai yaqin tentang Allah dan Hari Kiamat, membaguskan hatinya, dan menyucikan seluruh amal perbuatannya, maka ia akan menjadi orang yang paling baik dan paling saleh di antara umat manusia.

“Muhammad bin Abdul Wahab menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapanku,” jelas Hemper dalam buku Catatan Harian Seorang Mata-mata dan Persekongkolan Menghancurkan Islam.

Puncak penyesatan Hempher terhadap Muhammad bin Abdul Wahab, yang memotivasi Muhammad bin Abdul Wahab akhirnya membentuk sekte Wahabi adalah setelah Hempher mengaku-ngaku bermimpi bertemu Rasulullah Saw. Kata Hempher kepada Muhammad bin Abdul Wahab; “Semalam aku bermimpi berjumpa Nabi Saw. Aku menyapa beliau dengan berbagai sifat yang kuketahui dari para ulama. Beliau duduk di atas sebuah mimbar. Di sekeliling beliau berkumpul para ulama yang tidak kukenal. Engkau masuk. Wajahmu bersinar cemerlang seperti sebuah lingkaran cahaya. Engkau berjalan menghampiri Nabi Saw. Ketika engkau sudah cukup dekat, Nabi Saw berdiri dan mencium dahimu. Beliau bersabda; “Engkau lah pewaris ilmuku, wakilku dalam berbagai urusan duniawi dan ukhrawi”. Engkau pun berkata; “Ya, Rasulullah, aku takut menjelaskan ilmuku kepada orang banyak”. “Engkau lah yang terbesar. Jangan takut,” jawab Nabi Saw.”

Muhammad bin Abdul Wahab senang sekali mendengar bualan Hempher dan berkali-kali menanyakan apakah mimpi Hempher itu benar, dan Hempher tentu saja membenarkan.

“Sejak saat itu, kukira, ia berniat memaklumkan berbagai ide atau gagasan yang telah kutanamkan dalam dirinya untuk kemudian mendirikan sebuah sekte baru bernama Wahabi,” jelas Hempher sebagaimana tertulis dalam buku Catatan Seorang Mata-mata dan Persekongkolan Menghancurkan Islam.

Menurut buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahab sangat mudah disesatkan karena pengetahuan agama pemuda yang lahir pada 1703 Masehi (1115 Hijriyah) dan wafat pada 1792 Masehi (1206 Hijriyah) ini memang kurang memadai karena dia hanya belajar ilmu dari segelintir guru, termasuk dari ayahnya yang seorang qadhi (hakim). Muhammad bin Abdul Wahab pernah mengaji kepada beberapa guru agama di Mekah dan madinah, seperti kepada Syaikh Muhammad ibnu Sulaiman al-Kurdi dan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi. Ketika ia ke Bashrah, ia sebenarnya ingin berguru kepada seorang syaikh di sana, namun ditolak menjadi murid.

Hempher menerima pesan dari Kementerian Persemakmuran di London agar ia segera meninggalkan Bashrah dan berangkat menuju Karbala dan Najf, dua kota yang kala itu, pada abad 18 Masehi, menjadi pusat ilmu pengetahuan dan spiritual yang paling populer di kalangan Syi’ah. Hempher sebenarnya enggan berangkat karena saat perintah datang, Muhammad bin Abdul Wahab yang dianggapnya sebagai pemuda bodoh dan tak bermoral, masih perlu didorong untuk segera merealisasinya berdirinya sekte Wahabi, namun karena tugas tak bisa ditentang, ia berpamitan kepada Muhammad bin Abdul Wahab, dan berangkat ke Karbalah dan Najf.

Namun seperti diakui Hempher dalam buku Catatan Harian Seorang Mata-mata dan Persekongkolan Menghancurkan Islam, setelah ia pergi, Kementerian Persemakmuran tidak melepaskan Muhammad bin Abdul Wahab begitu saja, melainkan terus membina untuk menyesatkannya. Orang yang ditugaskan untuk terus ‘menempel’ kepada Muhammad bin Abdul Wahab di antaranya adalah Shafiyyah, wanita Kristen yang dinikahi Muhammad bin Abdul Wahab dengan cara nikah mut’ah; Abdul Karim, seorang agen mata-mata yang ditugaskan Kementerian Persemakmuran di distrik Jelfah dan Isfahan; dan Aisyah, seorang wanita Yahudi yang juga bekerja untuk Kementerian Persemakmuran yang tinggal di Syiraz. Bukti atas hal ini diutarakan Menteri Persemakmuran kepada Hempher, ketika Hempher menyampaikan kekhawatirannya kalau setelah ia tinggalkan, Muhammad bin Abdul Wahab akan mencampakkan apa yang telah ia tanamkan ke dalam dirinya, dan bahkan mungkin saja akan mempelajari ajaran Islam yang benar. Kata Menteri; “Jangan khawatir. Dia belum mencampakkan ide-ide atau gagasan-gagasan yang kautanamkan kepadanya. Mata-mata dari Kementerian kita berjumpa dengannya di Isfahan dan melaporkan bahwa dia belum berubah fikiran.”

Bukti lain adalah keterangan Abdul Karim kepada Hempher ketika mereka bertemu. Kata Abdul Karim, Muhammad bin Abdul Wahab bahkan kembali menikahi Shafiyyah secara mut’ah untuk selama dua bulan, dan kemudian menikahi Aisyah dengan cara yang sama, yakni nikah mut’ah.

Setelah menyelesaikan tugas di Karbalah dan Najf, Hempher mendapat cuti selama satu bulan, dan masa cuti ini dimanfaatkan untuk berkumpul bersama anak dan istrinya di London. Selesai cuti, Kementerian Persemakmuran menugaskannya untuk kembali ke Irak dan menemui Muhammad bin Abdul Wahab karena orang tolol ini sangat pas dan cocok untuk mewujudkan tujuan-tujuan kementerian, yakni memecah-belah Islam, melemahkannya, dan menguasai negerinya. Sekretaris Kementerian Persemakmuran bahkan memberitahu kalau mata-mata mereka di Isfahan telah bicara terus terang kepada Muhammad bin Abdul Wahab tentang apa yang diinginkan pemerintah Inggris darinya, dan Muhammad bin Abdul Wahab telah menyatakan bersedia memenuhi keinginan itu asal syarat-syarat yang diajukannya, dipenuhi. Syarat-syarat dimaksud adalah diberi dukungan uang dan senjata untuk melindungi diri dari negara dan ulama-ulama yang pasti akan menyerangnya sebagai akibat dari sekte yang ia dirikan, dan Kementerian telah menyetujui syarat-syarat tersebut.

Hempher senang sekali, sehingga karena takut misi ini akan gagal ia laksanakan, ia meminta arahan tentang apa yang pertama-tama harus ia lakukan, dan Sekretaris Kementerian menyodorkannya skema sebanyak enam paragraph yang harus dipatuhi. Inilah skema enam paragraph itu:

1. Muhammad bin Abdul Wahab harus menyatakan semua orang Muslim yang tidak sejalan dengannya adalah orang-orang kafir, dan memaklumkan bahwa halal hukumnya membunuh mereka, merampas harta mereka, menodai dan mencemarkan nama kehormatan mereka, memperbudak pria-pria mereka, menjadikan wanita-wanita mereka sebagai gundik, dan menjual mereka di pasar-pasar budak.

2. Muhammad bin Abdul Wahab harus menyatakan bahwa Ka’bah adalah berhala dan karenanya harus dihancurkan, menghapus haji, memprovokasi berbagai suku agar menggerebek jemaah haji, merampas harta milik mereka, dan membunuhnya.

3. Muhammad bin Abdul Wahab harus berusaha membuat kaum Muslimin tidak mematuhi dan tidak mentaati khalifah. Ia juga harus memprovokasi mereka agar memberontak terhadap khalifah, harus mempersiapkan pasukan untuk pemberontakan tersebut, dan mengeksploitasi setiap peluang dan kesempatan untuk menyebarkan keyakinan bahwa sangatlah perlu memerangi kaum bangsawan Hijaz dan menghinakan mereka.

4. Muhammad bin Abdul Wahab harus menyatakan bahwa berbagai mausoleum atau tempat pemakaman, kubah dan berbagai tempat suci di negara-negara Muslim adalah berhala, penuh kemusyrikan, dan karenanya harus dihancurkan. Ia harus berusaha sebaik mungkin mencari kesempatan untuk menghina dan melecehkan Nabi Muhammad Saw, khalifah-khalifah, dan juga para ulama terkemuka dari berbagai mazhab.

5. Muhammad bin Abdul Wahab harus sekuat tenaga memicu timbulnya pemberontakan, penindasan, dan anarki di negara-negara Muslim.

6. Muhammad bin Abdul Wahab harus berusaha menerbitkan sebuah Mushaf Al Qur’an yang mengalami perubahan, baik ditambah maupun dikurangi, sebagaimana halnya hadist-hadist Nabi Saw.

Sekretaris Kementerian meminta Hempher agar tidak panik dalam melaksanakan program raksasa ini, karena tugasnya dan tugas Kementerian Persemakmuran hanyalah menebar dan menyemai benih-benih penghancuran Islam, dan apa yang mereka lakukan saat ini akan dituntaskan oleh generasi-generasi setelah mereka.

“Pemerintah Inggris sudah terbiasa bersabar dan melangkah maju setahap demi setahap. Bukankah Nabi Muhammad, sang pemimpin besar revolusi Islam, juga manusia biasa? Dan Muhammad bin Abdul Wahab yang sudah kita kuasai berjanji menuntaskan ‘revolusi’ kita seperti halnya Nabi panutannya,” imbuh sang Sekretaris Kementerian.

Beberapa hari kemudian Hempher kembali ke Irak untuk melaksanakan tugasnya.

***

Hempher mendatangi rumah Abdur Ridha, dan tukang kayu itu menyambutnya dengan hangat seperti layaknya bertemu teman lama. Abdur Ridha bahkan memberi tahu kalau Muhammad bin Abdul Wahab pernah menitipkan surat untuk Hempher, dan surat itu diberikan kepadanya.

Dalam surat itu, Muhammad bin Abdul Wahab memberi tahu kalau ia meninggalkan kampung halamannya, Najd, dan bermukim di Uyainah. Hempher segera menyusul dan menemui orang binaannya itu di sana. Tubuh Muhammad bin Abdul Wahab kurus, dan pemuda itu juga mengaku telah menikahi salah seorang anak kerabatnya yang bermukim di kota itu.

Soal kepindahan Muhammad bin Abdul Wahab ke Uyainah, berdasarkan paparan dalam buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi diketahui kalau tak lama setelah berpisah dengan Hempher, pada 1143 (1730 M) Muhammad bin Abdul Wahab pulang ke Huraimila, desa kelahirannya di Najd, dan langsung berdakwah. Namun dakwahnya yang bertentangan dengan ajaran Sunni, seperti menganggap ajaran Sunni lebih banyak bersifat bid’ah dan menganggap orang-orang yang tidak sepemikiran dengannya adalah kafir, ditentang keras tak saja oleh masyarakat Huraimila dan para ulama Najd, tapi juga oleh keluarganya. Bahkan karena dakwahnya yang dianggap sesat, Muhammad bin Abdul Wahab bertengkar hebat dengan ayahnya, dan sempat akan dibunuh penduduk Huraimila. Saat bertengkar, ayah Muhammad bin Abdul Wahab berkata begini kepada penduduk Huraimila; “Kalian akan melihat kejahatan yang akan dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Allah menakdirkannya yang akan terjadi pasti terjadi!”

Karena tak dapat berdakwah di Huraimila, Muhammad bin Abdul Wahab melarikan diri ke kota Uyainah dan mendekati emir (walikota) di kota tersebut untuk mendapatkan perlindungan. Ia juga menikahi seorang gadis dari salah seorang kerabatnya. Kepada Hempher, Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan kalau ia akan berhenti berdakwah, namun Hempher memberinya semangat. .

“Kukatakan kepadanya bahwa perjuangan Nabi Muhammad Saw untuk mensyiarkan Islam jauh lebih berat dan lebih menderita dari apa yang engkau alami. Engkau tahu, inilah jalan kehormatan dan kemuliaan. Seperti seorang revolusioner lainnya, engkau harus tangguh dan tahan banting!” kata Hempher seperti dikutip dari buku Persekongkolan Menghancurkan Islam.

Untuk tidak menimbulkan kecurigaan penduduk Uyainah atas kehadirannya di sisi Muhammad bin Abdul Wahab, Hempher dan Muhammad bin Abdul Wahab sepakat untuk membohongi penduduk dengan mengatakan kalau Hempher adalah budak Muhammad bin Abdul Wahab yang baru saja kembali setelah melakukan perjalanan ke suatu tempat. Sedang untuk melancarkan dakwah orang yang ia bina untuk menghancurkan Islam tersebut, serta untuk mengamankannya dari serangan-serangan yang dapat terjadi seperti yang dialami Muhammad bin Abdul Wahab di Desa Huraimila, Hempher menyewa sejumlah agen mata-mata yang juga dimanfaatkan untuk berpura-pura menjadi para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab. Hempher menargetkan, dalam dua tahun sekte yang dipimpin Muhammad bin Abdul Wahab, atau sekte Wahabi, sudah dapat diumumkan kepada masyarakat luas.

Kekhawatiran Hempher terbukti. Dakwah Muhammad bin Abdul Wahab ditentang juga oleh masyarakat Uyainah, sehingga Muhammad bin Abdul Wahab, juga Hempher, terpaksa meninggalkan kota itu dan mengungsi ke Dir’iyah yang terletak di sebelah timur kota Najd. Dir’iyah adalah wilayah dimana Musailamah al-Kadzdzab yang mengaku-ngaku sebagai nabi ketika Rasulullah Saw masih hidup, tinggal. Dari wilayah ini juga gerombolan kaum ‘murtaddin’ menyerang kota Madinah setelah Rasulullah Saw wafat.

Sadar bahwa perjuangan Muhammad bin Abdul Wahab mendirikan sekte Wahabi memang tak mudah, Hempher menghubungi Kementerian Persemakmuran dan meminta bantuan. Kementerian turun tangan dengan melobi Muhammad bin Sa’ud, emir Dir’iyah agar mau melindungi dan bergabung dengan Muhammad bin Abdul Wahab. Muhammad bin Sa’ud setuju. Maka terjalinlah kerja sama yang saling menguntungkan antara Amir Dir’iyah itu dengan Muhammad bin Abdul Wahab, sehingga dalam sekejap mata Muhammad bin Abdul Wahab mendapat pengikut yang amat banyak, dan pada 1738 Masehi, sekte Wahabi dimaklumkan (dideklarasikan).

Berkat Inggris, kekuasaan Muhammad bin Sa’ud sebagai seorang emir, meluas. Bahkan kemudian, pada 1744 Masehi, menjadi sebuah negara yang saat ini kita kenal dengan nama Saudi Arabia (nama ini diambil dari nama keluarga Muhammad bin Sa’ud, yakni Ali Sa’ud yang berarti keluarga Saudi). Dir’iyah dijadikan sebagai ibukotanya, dan Muhammad Sa’ud menjadi emir (penguasa)-nya. Sedang Muhammad bin Abdul Wahab diangkat sebagai imamnya. Berdasarkan kitab Tarikh Ali Sa’ud karya Ustadz Nashir as-Sa’id diketahui kalau Muhammad bin Sa’ud dapat dilobi Kementerian Persemakmuran, karena keluarga Muhammad bin Sa’ud berdarah Yahudi Arab, dan kita tahu Inggris termasuk salah satu negara di dunia yang dikuasai Yahudi melalui Zionis Internasional dengan Freemasonry sebagai salah satu anasirnya.

Ada dua keuntungan yang didapat Inggris dari peristiwa ini. Pertama, berhasil mendirikan sekte baru untuk memecah-belah Islam, dan dapat menyedot limpahan kekayaan negara yang terkandung dalam bumi Arab Saudi, khususnya cadangan minyak buminya. Hingga kini Saudi Arabia masih menjadi salah satu negara di Timur Tengah yang memiliki ‘hubungan sangat baik’ dengan Inggris , dan menganut paham Wahabi.


Sebagai sekte yang di-create negara penjajah, karakter sekte Wahabi juga tidak berbeda dengan Inggris. Apalagi karena selain ajaran sekte ini jauh menyimpang dari ajaran Islam, juga karena ketika masih berada di Uyainah dan dalam perlindungan Hempher, Muhammad bin Abdul Wahab sempat berjanji kepada Hempher bahwa jika sektenya telah berdiri, ia akan melaksanakan semua isi skema enam paragraph Kementerian Persemakmuran.

Sejarah mencatat, demi meluaskan pengaruh dan menyebarkan sekte Wahabi, juga melaksanakan isi skema enam paragraph Kementerian Persemakmuran, duet Kerajaaan Arab Saudi dan Muhammad bin Abdul Wahab melakukan ekspansi dan penyerangan kemana-mana, dan terjadilah seperti apa yang diinginkan Inggris untuk menghancurkan Islam, yakni pertumpahan darah dimana-mana yang seluruh korbannya adalah orang Islam. Duet ini tidak pernah mengusik orang Yahudi dan Kristen yang datang ke negeri-negeri di sekitar mereka untuk menjajahnya. Sekali lagi, subhanallah, benarlah sabda Rasulullah Saw seperti diriwayatkan Muslim pada Kitab Az-Zakah, bab al-Qismah, yang penggalannya berbunyi; “ … Mereka memerangi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala …”

Penyerangan-penyerangan dan pembunuhan-pembunuhan tersebut diakui sendiri oleh para tokoh Wahabi dan bahkan tercantum dalam buku-buku sejarah resmi sekte ini, seperti buku Ad-Durar as-Saniyyah fi al-Ajwibah an-Najdiyah yang disusun Abdurrahman ibnu Muhammad ibnu Qasim al-Ashimi al-Qathani an-Najdi yang merupakan kumpulan risalah dan makalah ulama-ulama Najd dari sejak zaman Muhammad bin Abdul Wahab hingga saat ini. Wilayah yang diserang hingga penduduk muslimnya tewas bergelimang darah di antaranya Mekah, Thaif, Madinah, Riyad, Qatar, Bashrah, Karbala, Nejef, Qum, Omman, Kuwait, dan Syam, dan mereka bangga pada tindakannya yang radikal dan tidak sesuai dengan akidah Islam tersebut.

Pertumpahan darah ini mulai terjadi setelah duet Muhammad bin Abdul Wahab dan emir Saudi Muhammad bin Sa’ud mengobarkan semangat jihad terhadap siapapun yang memiliki pemahaman tauhid yang berbeda dengan sekte Wahabi, karena menurut mereka, Muslim non Wahabi adalah kafir, sehingga harus digerebek, dirazia, bahkan dibunuh. Ini terjadi pada 1746 Masehi (1159 Hijriyah). Dalam lima belas tahun sejak jihad dikobarkan, Wahabi berhasil menguasai sebagian besar wilayah Jazirah Arab, termasuk Najd, Arabia tengah, ‘Asir, dan Yaman. Setelah Muhammad bin Abdul Wahab meninggal pada 1791 Masehi (1206 Hijriyah), jihad diteruskan oleh para pengikutnya dan penerus Muhammad bin Sa’ud.

Karbala diserang pada 1802 Masehi (1216 Hijriyah) dengan mengerahkan 12.000 pasukan. Salah satu kota kaum Syi’ah di Irak ini dikepung, penduduknya dibunuh, makam Imam Husein (putra Ali bin Abi Thalib yang juga cucu Rasulullah Saw) dijarah. Versi ulama menyebutkan, penduduk Karbala yang terbunuh dalam peristiwa ini mencapai 5.000 jiwa, sedang versi Wahabi menyebut hanya 2.000 jiwa.

Thaif diserang pada bulan Dzulqa’idah tahun 1217 Hijrah (1803 Masehi). Ketika peristiwa terjadi, sebenarnya antara pemerintahan as-Syarif Ghalib, gubernur kota Mekah yang memerintah kota itu, dengan Wahabi telah terjalin kesepakatan damai, namun Wahabi melanggarnya. Ribuan penduduk kota ini tewas dan para ulamanya dipaksa untuk mengikuti sekte Wahabi di bawah todongan senjata. Ulama yang setuju, selamat, namun yang menolak dibunuh. Mereka juga merampas apa saja yang berharga dari kota itu.

Tentang serangan ke Thaif ini, ulama Mekah al-Mukaramah bermazhab Syafi’i, Ahmad ibnu Zaini Dahlan dalam kitab Umara ul-Baladil Haram yang ditulisnya, menyatakan begini; “Ketika memasuki Thaif, Wahabi membunuh semua orang, termasuk orang tua renta, anak-anak, tokoh masyarakat dan pemimpinnya, membunuh golongan syarif (ahlul bait), dan rakyat biasa. Mereka menyembelih hidup-hidup bayi-bayi yang masih menyusu di pangkuan ibunya, membunuh umat Islam di dalam rumah-rumah dan kedai-kedai kecil. Apabila mereka mendapati satu jama’ah umat Islam mengadakan pengajian Al Qur’an, maka mereka segera membunuhnya hingga tiada lagi yang tertinggal. Kemudian mereka memasuki masjid-masjid dan membunuhi orang-orang yang sedang ruku’ dan sujud, merampas uang dan hartanya, menginjak-injak mushaf Al Qur’an, dan juga menginjak-injak kitab Bukhari, Muslim, kitab fikih, nahwu, dan kitab-kitab lainnya. Kitab-kitab itu kemudian disobek-sobek, dan serpihannya disebarkan di jalan-jalan dan gang-gang. Mereka merampas harta orang-orang Islam, lalu membagikannya di antara mereka, seperti pembagian ghanimah (harta pampasan perang) dari orang kafir.”

Soal serangan ke Mekah, para ahli sejarah berbeda versi tentang tahun kejadiannya. Abdullah bin Asy-Syarif Husain menyebut kalau penyerangan terjadi pada 1218-1219 Hijriyah (1803-1804 Masehi), namun Utsman ibnu Abdullah ibnu Bisyr al-Hanbali An-Najdi menyebut pada 1220 Hijriyah (1805 Masehi). Namun yang pasti, penyerangan terjadi persis pada musim haji, karena umat Muslim yang sedang menunaikan ibadah haji memang merupakan sasaran utamanya. Dalam penyerangan ini, ribuan Muslim yang sedang menunaikan ibadah haji tewas. Penduduk juga diserang. Mereka ada yang langsung dibunuh, namun ada juga yang disiksa dahulu, baru dibunuh. Bahkan ada yang dimutilasi dalam keadaan masih hidup. Yang lebih sadis, selain merampas harta penduduk, pasukan Wahabi juga menyandera anak-anak dan baru dibebaskan setelah ditebus orangtuanya.

Mekah diduduki Wahabi selama sekitar enam tahun. Pada periode ini, Mekah benar-benar dalam masa kegelapan karena selain penduduk kota ini tak dapat lagi menjalankan syariat Islam dan harus mengikuti paham Wahabi, juga karena mushaf-mushaf Al Qur’an dibakar, kitab-kitab hadist dibakar, bahkan bangunan-bangunan bersejarah dan makam dihancurkan. Penduduk juga dilarang merayakan Maulid Nabi dan membaca barzanzi. Korban terus bertambah karena kezaliman Wahabi membuat penduduk yang masih hidup mengalami bencana kelaparan hebat karena semua harta yang mereka miliki, telah dirampas.

Madinah diserang pada akhir bulan Dzulqa’idah 1220 H, tak lama setelah Mekah dihancurkan. Dalam serangan ini bukan hanya penduduk dibunuhi dan hartanya dirampas, namun rumah Rasulullah Saw pun digerebek dan semua barang berharga di rumah itu dirampas, termasuk lampu dan tempat air yang terbuat dari emas dan perak berhiaskan permata dan zamrud. Sejumlah ulama di kota ini, seperti Shaikh Islmail al-Barzanji dan Shaikh Dandrawi melarikan diri. Pasukan Wahabi juga menghancurkan semua kubah di Pemakaman Baqi, termasuk kubah makam para Ahlul Baits yang terdiri dari istri-istri Nabi Saw dan keturunannya. Pasukan zalim ini bahkan sempat mencoba memusnahkan kubah makam Rasulullah saw, namun begitu melihat di kubah tersebut terdapat lambang bulan sabit yang mereka sangka terbuat dari emas murni, mereka mengurungkannya.

Puas membuat kerusakan, Pasukan Wahabi meninggalkan Madinah yang telah mereka ubah laksana kota mati yang luluh lantak.

***

Pasukan Wahabi menyerang Uyainah pada bulan Rajab 1163 Hijriah (1750 Masehi). Penduduk dan emir kota itu, Utsman ibnu Hamad ibnu Mu’ammar, dibunuh saat baru saja selesai sholat Jum’at dan masih berada di dalam masjid. Rumah-rumah dihancurkan, ladang-ladang dibakar, semua harta berharga dirampas, dan para wanita dijadikan budak belian.

Tak sampai di situ, Muhammad bin Abdul Wahab bahkan menakut-nakuti penduduk yang melarikan diri agar jangan membangun lagi kota mereka hingga selama 200 tahun dengan alasan, jika sebelum 200 tahun rumah-rumah kembali didirikan di Uyainah, maka Allah SWT akan mengirimkan jutaan belalang untuk meluluhlantakkannya. Ini tentu saja kebohongan belaka. Yang lebih mengiris hati, berdasarkan buku Tarikh Najd, sebuah buku tentang sejarah Saudi yang dikeluarkan oleh kerajaan Arab Saudi, diketahui kalau penyerangan terhadap Unaiyah dilakukan karena Wahabi menganggap penduduk kota itu kafir. Na’uzubillahiminzalik!

Riyad diserang pasukan Wahabi pada 1187 Hijriyah (1774 Masehi). Semua bangunan di kota ini dirusak dan dihancurkan, termasuk bangunan observatorium dan menara. Penduduknya, baik perempuan maupun laki-laki, anak-anak maupun orang dewasa, dibunuh. Selama beberapa hari, Riyad diduduki, dan begitu kota ini ditinggalkan, mereka membawa harta rampasan yang amat banyak.

Kuwait diserang hingga tiga kali. Pertama pada 1205 Hijriyah (1790 Masehi), kedua pada 1213 Hijriyah (1798 Masehi), dan ketiga pada 1223 Hijriyah (1808 Masehi). Seperti halnya serangan pada kota-kota yang lain, bangunan-bangunan di negara kaya minyak ini pun dirusak dan dihancurkan, dan rakyatnya dibunuhi. Kabilah-kabilah di Kuwait dan Bahrain yang menolak membayar jizyah (padahal jizyah hanya dikenakan kepada orang-orang kafir yang dilindungi), diserang habis-habisan. Pada buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi tertulis, serangan Wahabi terhadap Kuwait ini didukung Inggris karena kala itu Kuwait masih berada di bawah pemerintahan Khlaifah Islam Turki ‘Utsmani, sehingga serangan Wahabi ini menimbulkan perang besar yang dikenal dengan nama Peperangan al-Hamdh.

Pada 1338 Hijriyah (1920 masehi), Wahabi lagi-lagi menyerang Kuwait sehingga perang kembali pecah dan dikenal dengan nama Perang al-Jahra. Dalam kejadian ini, ulama Kuwait Syaikh Salim ash-Shabbah nyaris saja tertawan, namun berhasil diselamatkan pasukan Ibnu Thawalah dari Kabilah Syammar dan al-Ujiman. Korban tewas dari tentara dan penduduk sipil Kuwait mencapai ribuan orang.

Pada 1341 Hijriyah (1921 Masehi), pasukan Wahabi yang sebagian besar merupakan tentara kerajaan Arab Saudi, menghadang sekitar 1.000 orang penduduk Yaman yang sedang dalam perjalanan menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Penghadangan dilakukan di lembah Tanumah. Dalam kejadian ini, hanya dua orang yang berhasil melarikan diri karena yang lainnya tewas. Kerajaan Arab Saudi meminta maaf kepada pemerintah Yaman dan berdalih kalau pihaknya mengira rombongan jemaah haji itu adalah jamaah dari Hijaz yang membawa senjata. Namun setelah para ulama melakukan penelitian, diketahui kalau pembunuhan itu memang dilakukan dengan sengaja. Peristiwa ini diabadikan ahli sejarah Dr. Muhammad Awadh al-Khatib dalam buku berjudul Shafahat min Tarikh al-Jazirah al-Arabiyah yang ditulisnya.

Pada 1408 Hijriyah (1986 Masehi) jemaah haji Iran meneriakkan yel-yel yang mengkritik Amerika dan sekutu-sekutunya sambil berjalan menuju Masjidil Haram untuk menunaikan shalat berjamaah, umrah, dan thawaf. Yel-yel yang diteriakkan bunyinya begini; “Kematian untuk Amerika, kematian untuk Rusia, kematian untuk Israel! Wahai umat Islam, bersatulah!” Aksi jamaah haji Iran ini menarik perhatian jemaah haji dari negara lain, dan sebagian dari mereka ikut meneriakkan yel-yel tersebut. Ketika mereka telah mendekati Masjidil Haram, tentara Saudi Arabia menghadang dan menembaki mereka dengan membabi-buta. Sebanyak 329 jemaah haji tewas dan ribuan luka-luka. Pembantaian ini dilakukan karena pemerintah Arab Saudi tak suka negara-negara sekutunya dikecam dan dikritik.

Wahabi benar-benar melaksanakan seluruh isi skema enam paragraf Kementerian Persemakmuran tanpa menyadari kalau kebrutalan mereka membuat sekte mereka tak ubahnya bagai organisasi teroris yang menimbulkan kerusakan dan kematian di mana-mana. Apalagi karena setiap kali melakukan penyerangan, pembunuhan, dan perampasan harta sesama Muslim, sekte ini mendalihkannya sebagai tindakan jihad fisabilillah dan demi menegakkan ajarannya di muka bumi. Sama seperti yang diyakini para teroris saat ini, termasuk Imam Samudera cs. Sekte ini seperti tak kunjung menyadari kalau mereka diperalat oleh orang-orang kafir yang sesungguhnya (baca; Inggris) untuk menghancurkan Islam dan menyeret diri mereka sendiri ke dalam kekafiran.

Jika kita membaca buku-buku yang berkaitan dengan Wahabi, kita akan menemukan lebih banyak lagi kejahatan yang dilakukan sekte ini terhadap umat Islam, karena yang diserang bukan hanya kota-kota, negara-negara, serombongan orang, tapi juga pribadi-pribadi muslim, khususnya para ulama.

Mengutip dari buku Sejarah Berdarah Sekte Wahabi, sejak awal perkembangannya yang dimulai pada 1738, Wahabi telah melakukan kejahatan dengan membunuhi para ulama yang menentang ajarannya, terutama ulama-ulama di kota-kota yang menjadi target penyebaran ajaran sekte ini, seperti Thaif, Mekah, Madinah, Ahsaa, Karbala, Yaman, dan Syam. Ulama yang dibunuh di antaranya ;
1. Syaikh Abdullah az-Zawawi, ulama yang juga mufti Mekah al-Mukaramah yang bermazhab Syafi’i. Ulama ini dibunuh di rumahnya dengan cara disembelih.
2. Syaikh Ja’far asy-Syaibi, dibunuh oleh komandan tentara Wahabi pada 1217 Hijriyah (1802 Masehi).
3. Tiga ulama dari Kabilah Umar ibnu Khalid, dibunuh pada 1838 saat sedang dalam perjalanan menuju Ahsaa.

Sebagai sekte yang di-create berdasarkan campur tangan non Muslim, penyimpangan dalam ajaran Wahabi yang tak hanya berdasarkan fatwa-fatwa Muhammad bin Abdul Wahab, tapi juga fatwa para ulamanya, seperti Syaikh Ali al-Kudhair, Syaikh ‘Aidh ad-Duwaisri, Syaikh Abdullah an-Najdi, dan Syaikh Nashir al-Fahd, luar biasa parahnya. Fatwa-fatwa itu bahkan cenderung nyeleneh dan berbahaya. Ini lah beberapa di antara fatwa-fatwa tersebut :

1. Fatwa Syaikh Ali al-Kudhair: Boleh berdusta dan bersumpah palsu demi agama (baca: Wahabi), khususnya bagi para da’i dan mubaligh.
2. Fatwa Syaikh ‘Aidh ad-Duwaisri: Boleh menipu Syi’ah dan orang-orang lain yang berfaham sesat (non Wahabi).
3. Fatwa Syaikh Sulaiman al-Kharasyi: Boleh merampok harta orang-orang sekuler, serta halal nyawa dan kehormatan mereka (persis seperti yang diyakini para teroris seperti Imam Samudera cs).
4. Fatwa Syaikh Ibnu Baz: Boleh menghancurkan website/situs seseorang atau lembaga tertentu, mencuri password dan memata-matai email demi dakwah Salafi Wahabi.
5. Fatwa Syaikh Ibnu Jibrin: Fatwa jihad terhadap Syi’ah dan wajib melaknat mereka.
6. Fatwa Dewan Fatwa Tetap (Lajnah Da’imah): Haram menabur bunga di atas makam (Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak melarang hal ini).
7. Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin: Haram belajar bahasa Inggris.
8. Fatwa Syaikh Nashir al-Fahd: Haram bertepuk tangan, haram ucapan salam dan penghormatan dalam latihan militer.
8. Fatwa Syaikh Abdullah an-Najdi: Haram bermain bola sepak.
9. Fatwa Syaikh Hamud ibnu Aqla asy-Syu’aibi: Halal nyawa dan kehormatan Abdullah ar-Ruwaisyid, penyanyi Kuwait.
10. Fatwa Ulama-ulama Besar Saudi (Hai’ah Kibar al-‘Ulama): Haram game Pokemon dan sejenisnya bagi anak-anak.
11. Fatwa Syaikh Utsman al-Khamis dan Sa’d al-Ghamidi: Haram penggunaan internet bagi kaum wanita.

Selain fatwa-fatwa yang aneh, nyeleneh, dan tidak masuk akal, para ulama Wahabi juga memiliki ajaran dan pendapat yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah Saw, para sahabat, dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Misalnya;
1. Dalam kitab karangan Abdullah Ibnu Zaid, ulama Wahabi, yang berjudul al-Iman bi al-Anbiya’i Jumlatan (Beriman Kepada Semua Kitab) disebutkan kalau Adam a,s. bukanlah nabi dan juga bukan rasul Allah.
2. Dalam buku al-Qaulu al-Mukhtar li Fana’i an-Nar karangan Abdul Karim al-Humaid, ulama Wahabi, disebutkan bahwa neraka tidak kekal dan orang-orang kafir tidak diazab selamanya di neraka karena akan dipindahkan ke surga.
3. Dalam buku kaum Wahabi yang berjudul Fatawa al-Mar’ah disebutkan bahwa menceraikan istri ketika haid tidak menyebabkan jatuhnya talak (padahal ‘ijma ulama mengatakan, seorang suami yang menceraikan istrinya ketika sang istri sedang haid, maka talaknya tetap sah dan si istri menjadi haram bagi suaminya).
4. Dalam buku berjudul Fatawa al-Mar’ah juga disebutkan bahwa perempuan tidak boleh menyetir mobil (‘Ijma ulama mengatakan, perempuan boleh mengendarai mobil selagi tidak ada fitnah dan tetap terjaga aurat serta kehormatannya).
5. Dalam buku berjudul Fatawa al-Mar’ah juga disebutkan bahwa suara wanita di sisi lelaki ajnabi (bukan mahram atau orang yang boleh dinikahi) adalah aurat yang haram untuk didengar suaranya. Dengan kata lain, wanita haram berbicara di sisi laki-laki (di zaman Rasulullah Saw, perempuan dapat bertanya langsung kepada beliau tentang urusan agama. Ini berarti, dalam Islam, tak apa-apa perempuan berbicara di sisi laki-laki).
6. Dalam buku Halaqat Mamnu’ah karangan Hisyam al-Aqqad, ulama Wahabi, disebutkan bahwa mengucap zikir la illaha ilallah sebanyak seribu kali adalah sesat dan musyrik (padahal dalam Al Qur’an surah al-Azhab ayat 41 Allah berfirman; “Wahai orang-orang yang beriman berzikirlah dengan menyebut nama Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.”)
7. Ibnu Utssimin, ulama Wahabi, berkata; “Ziarah kubur bagi wanita adalah haram, termasuk dosa besar, meskipun ziarah ke makam Rasulullah.” (padahal dalam ajaran Islam tak ada larangan wanita melakukan ziarah kubur, termasuk menziarahi makam Rasulullah Saw).
8. Dalam buku at-Tahqiq wa al-Idhah li Katsirin min Masa’il al-Haj wa al-Umrah karangan Abdul Aziz ibnu Abdullah ibnu Baz disebutkan bahwa memotong jenggot, apalagi mencukurnya, hukumnya haram (padahal Islam tidak melarang memendekkan jenggot agar kelihatan rapih, bahkan dianjurkan, karena Allah SWT mencintai keindahan)
9. Ibnu Baz dalam majalah ad-Dakwah edisi 1493 Hijriyah (1995 Masehi) yang diterbitkan Saudi Arabiah menyatakan, haram bagi perempuan muslim mengenakan celana panjang, meskipun di depan suami dan celana panjang itu lebar serta tidak ketat (Islam tidak melarang wanita memakai celana panjang. Apalagi di hadapan suami).
10. Dalam kitab al-Ishabah, al-Juwaijati, imam Masjid Jami’ ar-Raudhah, Damaskus, Syiria, disebutkan, ketika berada di Masjid ad-Daqqaq, Damaskus, salah seorang ulama Wahabi mengatakan, shalawat kepada Rasulullah Saw dengan suara nyaring setelah adzan hukumnya sama seperti seorang anak yang menikahi ibu kandungnya (Islam tidak melarang umatnya bershalawat setelah adzan).
11. Ibnu Baz mengatakan, mengucapkan kalimat shadaqallahu al-adzim (maha Benar Allah dengan segala firman-Nya) setelah selesai membaca Al Qur’an adalah bid’ah sesat dan haram hukumnya (Islam justru menganggap baik mengucapkan kalimat itu karena mengandung pujian kepada Allah, dan sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al Qur’an surah Ali-Imran ayat 95 yang bunyinya; “Katakanlah shadaqallahu (Maha Benar Allah (dengan segala firman-Nya).”)

Dari beberapa contoh di atas jelas sekali terlihat kalau ajaran Wahabi telah keluar dari Islam karena terlalu banyak fatwa para ulama dan ajarannya yang tidak sejalan, bahkan bertolak belakang, dengan ajaran Islam. Maka benar pula lah sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Az-Zakah bab al-Qismah yang penggalan sabdanya berbunyi; “ … Mereka keluar dari agama Islam seperti anak panah tembus keluar dari (badan) binatang buruannya …” Subhanallah.

Tak ada yang abadi di dunia ini. Begitu pula dengan kejayaan Wahabi. Karena menganggap umat Islam selain pengikut ajarannya adalah kafir dan selalu memerangi, bahkan membunuhi umat Islam dengan dalih jihad fisabilillah, lambat laun antipati terhadap sekte ini meluas di seluruh wilayah Jazirah Arab, sehingga pada akhir abad 19 dakwah para ulama Wahabi tak laku lagi. Bahkan selalu dicerca dan dikecam.

Sadar kalau sektenya dalam bahaya, dengan didukung pemerintah Arab Saudi dan Inggris tentu saja, para ulama penerus Muhammad bin Abdul Wahab menggunakan jurus baru untuk tetap meng-eksiskan sekte ini di muka bumi. Apalagi karena sejarah Wahabi yang kelam dan kotor membuat tak sedikit pengikutnya yang menjadi risih setiap kali berhadapan dengan pengikut sekte Islam yang lain, terutama jika berhadapan dengan pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Dalam bukunya yang berjudul as-Syalafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarokah La Madzhab Islami, Prof. Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi mengungkapkan, Wahabi mengubah strategi dakwahnya dengan mengganti nama menjadi Salafi karena mengalami banyak kegagalan dan merasa tersudut dengan panggilan Wahabi yang dinisbatkan kepada pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. Oleh karena itu, sebagian muslimin menyebut mereka sebagai Salafi Palsu atau mutamaslif.

Menurut buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, penggunaan nama Salafi untuk Wahabi, sehingga sekte ini sekarang dikenal dengan nama Salafi Wahabi, pertama kali dipopulerkan oleh salah seorang ulama Wahabi yang bernama Nashiruddin al-Albani, seorang ulama yang dikenal sangat lihai dalam mengacak-acak hadist, dan juga seorang ahli strategi. Hal ini diketahui berdasarkan dialog Albani dengan salah seorang pengikutnya, Abdul Halim Abu Syuqqah, pada Juli 1999 atau pada Rabiul Akhir 1420 Hijriyah.

Selain mengganti nama, sekte ini juga mengubah strategi dakwahnya dengan mengusung platform dakwah yang sekilas, jika tidak dipahami benar maksud dan tujuannya, terkesan sangat indah, terpuji dan agung, yakni “kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah”. Apa yang salah dengan platform ini? Gampang dijawab.

Wahabi adalah sekte dengan ajaran yang bahkan oleh para ulama pengikut mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali dianggap sebagai ajaran sesat. Pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab, adalah seorang pria arogan, kasar, dan telah dicuci otak oleh Kementerian Persemakmuran melalui salah seorang agen mata-matanya, Hempher, sehingga telah menyimpang jauh dari ajaran Islam. Ulama-ulamanya pun, termasuk Ibnu Taimiyah, mengeluarkan fatwa-fatwa yang ganjil, nyeleneh dan juga tidak sesuai dengan ajaran Islam. Lalu, bagaimana mereka dapat mengajak setiap Mukmin kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw yang dijabarkan dan dijelaskan para ulama dalam hadist? Al Qur’an dan Sunnah yang mana yang mereka maksud?? Ibnu Taimiyah sendiri, karena fatwa-fatwanya yang nyeleneh dan menyimpang dari Islam, ditangkap, disidang, di penjara di Damaskus, dan meninggal di penjara itu. Sejarah mencatat, sedikitnya ada 60 ulama, baik yang hidup di zaman Ibnu Taimiyah maupun yang sesudahnya, yang mengungkap kejanggalan dan kekeliruan fatwa-fatwa ulama Wahabi itu dan juga ajaran Wahabi.

Penggunaan nama salafi, sehingga kini Wahabi menjadi Salafi Wahabi pun wajib dipertanyakan, karena salafi merupakan sebuah bentuk penisbatan kepada as-salaf yang jika ditinjau dari segi bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Sedang dari segi terminologi, as-salaf adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah Saw dalam hadistnya; “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (tabi at-tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim). Jadi, berdasarkan hadist ini, as-salaf adalah para sahabat Rasulullah Saw, tabi’in (pengikut Nabi setelah masa sahabat) dan tabi at-tabi’in (pengukut Nabi setelah masa tabi’in, termasuk di dalamnya para imam mazhab karena mereka hidup di tiga abad pertama setelah Nabi saw. wafat). Maka jangan heran jika dalam bukunya as-Syalafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarokah La Madzhab Islami, Prof. Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi menyebut kalau sebagian muslimin menyebut Salafi Wahabi sebagai Salafi Palsu atau mutamaslif.

Yang juga perlu diwaspadai, kadangkala penganut ajaran Wahabi juga menyebut diri mereka Ahlus Sunnah, namun biasanya tidak diikuti dengan wal Jama’ah untuk mengkamuflasekan diri agar umat Islam yang awam tentang aliran-aliran/sekte-sekte/golongan-golongan dalam Islam, masuk ke dalam golongannya tanpa tahu sekte ini menyimpang, dan mengamini ajarannya sebagai ajaran yang benar. Karena itu penting bagi setiap Muslim untuk mempelajari sejarah agamanya, dan sekte-sekte yang berada di dalamnya.

***

Faham Salafi Wahabi masuk Indonesia pada awal abad 19 Masehi. Menurut buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, faham sesat ini dibawa oleh segelintir ulama dari Sumatera Barat yang bersinggungan dengan sekte ini ketika sedang menunaikan ibadah haji di Mekah.

Namun demikian, para ulama ini tidak menelan mentah-mentah ajaran Wahabi, melainkan hanya mengambil spirit pembaharuannya saja. Buku karya Syaikh Idahram itu bahkan menyebut, spirit yang diambil ulama Sumatera Barat dari faham Wahabi kemudian menjelma menjadi gerakan untuk melawan penjajah Belanda yang berlangsung pada 1803 hingga sekitar 1832 yang kita kenal dengan nama gerakan Kaum Padri dimana salah satu tokohnya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini tidak sekeras dan sekaku Wahabi karena dikulturisasi dengan budaya lokal, sehingga mudah diterima masyarakat.

Berkembangnya Wahabi di Indonesia sempat membuat sejumlah tokoh Islam kerepotan karena dituding sebagai pengikut sekte ini. Mereka yang sempat dicap sebagai Wahabisme adalah Syaikh Ahmad Surkati (pendiri al-Irsyad al-Islamiyah), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), dan Abdul Munir Mulkhan (cendekiawan Muhammadiyah yang juga guru besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta), namun semua ini terbantahkan, karena KH. Ahmad Dahlan seorang sufi. Bahkan untuk membantah tuduhan bahwa ia penganut Wahabi, Syaikh Ahmad Surkati menulis begini; “Tangan saya gemetar ketika menulis bantahan ini. Bukan karena saya takut terhadap gerakan yang keras itu, melainkan karena saya memang tidak mengetahui, apalagi mengikutinya.”

Masih menurut buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, pada 1995 Wahabi mulai memiliki media cetak di Indonesia dengan terbitnya Majalah Salafi yang dibidani Ja’far Umar Thalib dan kawan-kawan. Ja’far Umar Thalib juga kita ketahui sebagai Panglima Laskar Jihad.

Saat ini Wahabi telah terpecah menjadi dua faksi, yakni Salafi Yamani dan Salafi Haraki. Selain berjenggot dan mengenakan celana yang menggantung di atas tumit, para pengikut Wahabi dapat dikenali dari ciri-ciri sebagai berikut :

1. Selalu menggerak-gerakkan jari telunjuk naik turun saat tasyahhud awal maupun akhir (padahal Rasulullah Saw tidak pernah melakukan hal ini, karena seperti dijelaskan para ahli fikih, yang dimaksud menggerakkan jari telunjuk saat tasyahhud adalah dari kondisi tangan menggenggam, telunjuk digerakkan hingga menunjuk ke depan (isyarah). Hanya itu, dan tidak digerak-gerakkan terus menerus. Apa yang dilakukan pengikut Wahabi adalah bid’ah)
2. Sesuai doktrin sekte ini, pengikutnya diberikan penggambaran bahwa seperti halnya manusia, Allah SWT juga memiliki wajah, dua mata, mulut, gigi, dua tangan lengkap dengan telapak tangan dan jari-jemari, dada, bahu, dan dua kaki yang lengkap dengan telapak kaki dan betis. Allah berupa seorang pemuda berambut gelombang dan berpakaian merah. Allah duduk di atas Arasy seperti layaknya manusia duduk di kursi. Dia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dan turun dari langit yang satu ke langit yang lain. Jika Allah duduk di Arasy, maka akan terdengar suara mengiuk seperti bunyi pelana kursi unta yang baru diduduki (doktrin ini mirip doktrin dalam Kristen, dimana Isa a.s yang dianggap sebagai anak Tuhan merupakan seorang pemuda dengan rambut bergelombang dan berselendang merah).
3. Pengikut sekte ini memiliki didoktrin bahwa tauhid dibagi tiga, yakni tauhidUlûhiyyah, tauhid Rubûbiyyah, dan tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât , sehingga diyakini bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab lebih baik, lebih bertauhid, dan lebih ikhlas dalam beriman kepada Allah SWT daripada umat Islam (padahal dalam Al Qur’an kedua tokoh ini justru dilaknat Allah SWT).
4. Selalu berbeda dalam menentukan hari-hari penting. Misalnya, berpuasa hanya 28 hari di bulan Ramadhan (Ahlus Sunnah wal Jama’ah 29 atau 30 hari), dan pada 1419 Hijriyah (1999 Masehi) menetapkan bahwa waktu wukuf di Arafah bagi jemaah haji pada 17 Maret, padahal para ahli falak berdasarkan hilal menetapkan bahwa waktu wikuf pada 18 Maret.
5. Sangat kaku dan sangat letterlijk (terlalu harfiah) dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an dan hadist (padahal Islam sangat fleksibel. Apalagi karena Islam diturunkan Allah sebagai rahmatan lil alamin).
6. Mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham, dan mudah menuding apa yang dilakukan umat Islam sebagai bid’ah dan musyrik, seperti misalnya melakukan ziarah kubur dan mengucapkan “shadaqallahu al-adzim” setelah membaca Al Qur’an.

Semoga dengan sudah turunnya artikel ini kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan bisa bisa menjadi umat muslim yang lebih beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Editor - SPVW
Buku Bantu penulisan - Catatan aswaja Di saudi arabia

0 komentar on Dalam Cengkraman Sekte Wahabi Terakhir .. :

About

mein_liebe.inc. Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Translate